Salah satu jenis puisi yang paling terkenal dan memiliki banyak karya dan sastrawannya adalah Syair.sebagai keindahan persamaan bunyi yang tertuang didalamnya, membuat banyak orang terpukau ketika dibacakan kepada banyak orang.
Namun sekarang ini syair sangat sulit sekali ditemukan. Maka dari itu kita akan membahas secara mendalam tentang hal tersebut
Pengertian Syair
Apa yang dimaksud dengan syair?. Pengertian Syair terbagi dalam dua jenis, yaitu menurut pengertian dalam dan pengertian baru. Menurut pengertian lama, Syair adalah bentuk kesusastraan lama Indonesia yang berasal dari Arab. Syair berkembang dan dipelihara di Indonesia sejak masuknya Islam ke Indonesia hingga tahun 1930.
Sedangkan menurut pengertian baru, Syair adalah segala bentuk karangan yang terikat yang mementingkan irama sajak. Pengertian ini mengidentifikasi bahwa syair sama dengan puisi.
Baca juga : Pengertian Puisi
Ciri-Ciri Syair
Sebagai salah satu jenis karya sastra puisi lama, berikut ini adalah ciri-ciri syair pada umumnya:
- Merupakan salah satu jenis puisi lama Indonesia
- Berbentuk bait-bait, setiap bait terdiri atas 4 baris
- Setiap baris terdiri atas 4-5 kata dan 8-12 suku kata
- Bersajak a-a-a-a
- Tidak mempunyai sampiran
- Semua baris pada syair adalah isi
- semua baris pada syair adalah makna yang berkaitan dengan baris-baris sebelumnya, karena biasanya menceritakan suatu kisah.
Pada tabel dibawah ini menjelaskan perbedaan antara pantun dan syair
Syair | Pantun |
Berasal dari Arab | Puisi lama Asli Indonesia |
Berima dan bersajak a-a-a-a | Bersajak a-b-a-b |
Tidak mempunyai sampiran semua baris pada syair adalah isi | Mempunyai sampiran yaitu 2 baris pertama |
Bait satu berkaitan dengan bait-bait lainnya | Mempunyai isi ( dua baris terakhir) |
Selesai dalam satu bait saja |
Asal-Usul syair
Syair merupakan puisi Indonesia yang berasal dari Arab atau parsi, dapat dikatakan bahwa syair berasal dari Arab. Syair masuk ke nusantara bersama dengan kedatangan Islam. Mulai berkembang dan menjadi kegemaran masyarakat melayu lama. Syair tidak mempunyai pemilik atau penulis khusus. Sehingga dianggap sebagai milik bersama oleh masyarakat melayu lama.
Dari awal kemunculannya hingga abad ke-16, syair masih diartikan sebagai sajak pada umumnya. Baru dalam karya-karya Hamzah Fansuri, syair memperoleh makna sebagai jenis sajak yang khas. Sejak awal kemunculannya, syair disampaikan dalam bentuk cerita berlau. Hal ini dimaksudkan supaya syair dapat dinyanyikan dengan menarik dan sesuai dengan tujuan serta peranannya.
Jenis-jenis syair
Berdasarkan isinya, syair terbagi dalam 6 jenis syair, yaitu jenis panji, romantis, kiasan, sejarah, saduran, dan keagamaan.
Syair Panji
Syair panji adalah syair yang biasanya mengisahkan Sebagian cerita panji sehingga plot atau jalan ceritanya lebih teratur. Contoh syair panji sebagai berikut:
- Syair Ken Tambuhan
- Undakan Agung Udaya
- Cerita Wayang Kinudang
- Serat Gambuh
- Panji Semirang
Syair Romantis
Jenis ini pada umummnya merupakan gubahan dari cerita khayalan yang terdapat dalam bentuk hikayat. Jalan ceritanya kadang-kadang sukar diikuti karena untuk mengejar tercapainya keindahan bunyi. Contoh-contoh syair romantis yang terkenal sebagai berikut:
- Bidasari
- Yatim Nestapa
- Sultan Abdul Muluk
- Si Lindung Delima
- Cinta Berahi
- Puteri Hijau
- Raja Mambang Jauhari
Syair Kiasan
Kiasan sebenarnya merupakan syair yang mengisahkan dengan tujuan sindiran yang mengisahkan percintaan ikan, burung, atau bunga. Misalnya : Syair Ikan Terubuk menyindir peristiwa anak raja Malaka meminang puteri siak. Beberapa contoh kiasan yang terkenal sebagai berikut:
- Ikan Terubuk
- Burung Pungguk
- Bunga
- Nuri Mimpi Bersuntingkan Bunga Cempaka
Isi syair kiasan semua mengenai percintaan yang menyimpang dan pelakunya sesuai dengan judulnya. Misalnya yang berjudul lalat dan nyamuk mengisahkan cinta lalat kepada nyamuk.
Syair Sejarah
Jenis ini berwujud syair yang mengisahkan raja-raja yang memerintah atau residen belanda. Misalnya Syair Sultan Mahmud di Lingga yang menceritakan Sultan Mahmud diangkat menjadi raja, penyusunan pemerintahan, pendirian kota, serta perkawinan puterinya dengan Yamtuan Muda. Contoh syair dari jenis Sejarah
- Perang Mengkasar
- Kompeni Welanda Berperang dengan Cina
- Perang di Banjarmasin
- Raja Siak
- Menteng
- Emup
- Singapura Dimakan Api
- Kisah Engku Puteri
Syair Saduran
Golongan ini biasanya merupakan gubahan dari cerita jawa atau wayang. Misalnya dalam Damarwulan dikisahkan Damarwulan membunuh Minak Jingga dan kemudian kawin dengan Ratu Majapahit. Dalam syair cerita wayang diceritakan para dewa yang menjelma ke dunia untuk menguji kekuatan para Pandawa. Contoh syair ini adalah berikut:
- Damar Wulan
- Tajul Muluk
- Puteri Handelan
- Sultan Yahya
- Cerita Wayan
- Bayan Budiman
- Bibi Marhumah yang Saleh
Syair Keagamaan
Merupakan Jenis Syair yang menceritakan berbagai aspek kehidupan beragama, baik di dunia maupun kegunaannya di akhirat. Jenis ini dimulai dari Riwayat hidup para nabi. Syair keagamaan yang popular ditulis oleh Hamzah Fansuri.
30 Contoh Syair Populer
Berikut ini adalah 30 contoh syair populer yang bisa kamu gunakan dan pelajari untuk menambah wawasan kalian dan membantu kalian dalam tugas sekolah
BIDASARI LAHIR
Dengarlah kisah suatu Riwayat,
Raja di desa negeri Kembayat,
Dikarang fakir dijadikan hikayat,
Dibuatkan syair serta berniat.
Adalah raja sebuah negeri,
Sultan Agus bijak bestari,
Asalnya baginda raja yang bahari
Melimpahkan pada dagang biaperi.
Kabarnya Orang empunya termasa,
Baginda itulah raja perkasa,
Tiadalah ia merasai susah,
Entahlah kepada esok dan lusa.
Seri paduka Sultan bestari,
Setelah ia sudah beristri,
Beberapa bulan beberapa hari,
Hamillah puteri permaisuri
Demi ditentang duli mahkota,
Mangkinlah hati bertambah cinta
Laksana mendapat bukit permata,
Menentang isterinya hamil serta.
Beberapa lamanya di dalam kerajaan,
Senantiasa ia bersuka-sukaan,
Datanglah masa beoleh kedukaan,
Baginda meninggalkan takhta kerajaan.
Datanglah kepada suatu masa,
Melayanglah ungags dari angkasa,
Ungags garuda burung perkasa,
Menjadi negeri rusak binasa.
Datang menyambar suaranya bahna,
Gemparlah sekalian mulia dan hina,
Seisi negeri gundah-gulana,
Membawa dirinya barang kemana.
Bagindapun sedang dihadap orang,
Mendengarkan gempar seperti perang,
Bertitah baginda raja yang garang,
Gempar ini apakah kurang.
Demi mendengarkan titah baginda,
Berdatang sembah suatu biduanda,
Daulat tuanku duli seripada,
Patik sekalian diperhambat garuda.
Syair Singapura Dimakan Api
Serta terpandang api itu menjulang
Rasanya arwahku bagaikan hilang
Dijilatnya rumah-rumah dan barang-barang
Seperti anak ayam disambar elang
Seberang-menyebrang rumah habis rata
Apinya cemerlang tiada membuka mata
Bunyi gempar terlalulah gempita
Lemahlah tulang sendi anggota
Syair Perang Mengkasar
Sudahkah kalah negeri Mengkasar
Dengan kudrat Tuhan Madikal-Jabbar
Patik karangkan di dalam fatar
Kepada negeri yang lain supaya terkabar.
Memohokan ampun patiktuanku,
Kehendak Allah telah berlalu
Kepada syarak tidak berlaku
Bugis Buton Ternate hantu
Lima tahun lamanya perang,
Sedikitpun tidak hatinya bimbang,
Sukacita hati segala hulubalang
Sukacita hati segala hulu balang
Melohat musuh hendak berperang
Mengkasar sedikit tidak gentar,
Ia berperang dengan si kuffar,
Jikala tidak rakyatnya lapar,
Tambah lagi welanda kuffar.
Syair Perahu
Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetuli jalan tempat berpindah
Di sanalah itikad diperbetuli sudah
Wahai muda, kenali dirimu
Iala perahu tamsil tubuhmu
Tiadalah berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu
Hai muda arif Budiman
Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perahumu jua kerjakan
Itulah jalan membetuli insan
Perteguh jua alat perahumu
Hasilkan bekal air dan kayu
Dayung pengayuh taruh di situ
Supaya laju perahumu ini
Sudahlah hasil kayu dan ayar
Angkatlah pula sauh dan layer
Pada beras bekal jantanlah taksir
Niscaya sempurna jalan yang Kabir
Perteguh jua alat perahumu
Muaranya sempit tempatmu lalu
Banyaklah di sana ikan dan hiu
Menanti perahumu lalu dari situ
Muaranya dalam ikan pun banyak
Disanalah perahumu karam dan rusak
Karangnya tajam seperti tombak
Ke atas pasir kamu tersesak
Ketahui olehmu hai anak dagang
Riaknya rencam ombaknya karang
Ikan pun banyak datang menyarang
Hendak membawa ke tengah sawang
Muaranya itu terlalu sempit
Di manakah lalu sampan dan rakit
Jikalau ada pedoman dikapit
Sempurnalah jalan terlalu baid
Baiklah perahu engkau perteguh
Hasilkan pendapat dengan tali sauh
Anginya keras ombaknya cabuh
Pulaunya jauh tempat berlabuh
Di Depan Kacamu
Hati yang terbakar kucelupkan pada gelasMu
Kuremas, airnya pekat mengalir seperti darah merah tua
Di kaca tampak tubuhku letih kekeringan
Dan wajahMu yang gagah tersembul di sana
Aku malu.
( Wannofri Samry)
Angin Senja Mengantarkan Suasana Duka Kematian
Angin senja mengnatarkan suasana duka kematian
Lambaian pucuk pohon di depan rumah seperti menyimpan
Kalian “ Selamat Jalan”
Lalu, aku telah dibentangkan sebuah ladang ketakutan
Ditumbuhi semak-semak belukar, di sana mayat terbaring
Setelah berlumur darah, dan burung-bubrung datang
Seperti membawa kabar tentang kematian berikutnya.
( Wannofri Samry)
Di Keheningan
Saat Langkah kuayunkan di keheningan
Aku berputar di pusar hidupku
Peristiwa demi peristiwa, cinta demi cinta
Kembali kutanya : sejauh apakah
Bisa memasuki dunia?
Jadilah perburuan
Pembentangna nasib
Bulan ku kejar berlari-lari
Meniti malam meniti siang
Berlarihlah!
Terus berlari: berburu aku dalam kosong
Hening semua
Kubaca dalam Lelah terbenam
( Wannofri Samry)
Muak Aku Melihat Tingkahmu
ada saat yang aku benci dari kebersamaan ini
Kau seakan-akan tak perduli
Kau pun tak bisa membedakan lagi
Apa arti persahabatan yang kita jalani
Kau mencampur-adukkan segala waktu
Kau bermain dalam segala suasana
Kau tak lagi hiraukan perbedaan
Semua hal adalah sama di matamu
Dimana daya nalar pikiranmu hai sahabatku
Kau yang disebut-sebut sebagai generasi bangsa
Masihkah ada waktu kau belajar hidup
Tatakrama taka da lagi di jalanmu
Mulutmu berkoar-koar tanpa ada arti
Tingkahmu membuat orang ini memuntahimu
Masihkah ada waktu untuk merubah semua itu
Agar kau sadar semua hal ad amasanya
Tanpa harus tergesa-gesa untuk mendapat makna akhirnya
Marilah kita bersama-sama menjunjung ahlak
Karena tanpa akhlak semua akan cepat binasa
Tanpa engkau meninggalkan makna
(Gunawan Tambunsaribu)
Maafkan Aku
Apakah aku harus berbuat dusta
Meskipun aku sadar aku t’lah salah
Salah menilai sikapmu
Engkau yang selalu mencintaiku
Aku tak pantas mendapatkan rasamu
Kar’na aku adlaah pengkhianat cintamu
Tak’kan bisa kubohongi rasaku
Jika aku t’lah mempermainkanmu
Andikan aku tak salah mencintai dirinya
Yang telah ternoda oleh nafsuku
Aku akan berharap menjadi kekasihmu
Hingga aku akan menjadi pendamping hidupmu
Namun aku t’lah terbelenggu oleh dosaku yang dulu
Hingga aku telah menjadi pendamping hidupnya
Dia adalah wanita yang telah menjeratku dalam nafsu
Hingga aku t’lah terjatuh dalam pelukannya
Maafkan atas rasaku
Yang t’lah permainkan rasamu
Jujur aku ingin seperti yang dulu
Menyayangimu setulus hatiku
Tapi aku tak’kan bisa berpaling dari takdirku
Mungkin inilah jalan taubatku
Agar aku tak lagi bercinta dalam nafsu
( Gunawan Tambunsaribu)
Tak’kan Lelah
Hanya terang lampu neon ini
Menemani nafasku yang kian tersengal
Teriring nelangsanya hati
Tuk kesekian ribu kalinya berusaha teduhkan hati
Siang hingga senjata telah berlalu
Hingga kudapati malam yang sedang menyendiri
Menyelimuti hati yang sepi
Meredakan marah yang bengis tadi
Tak’kan Lelah malam menemaniku
Hingga sejuta syair pun tak’kan lelah datang mengadu
Lirik-lirik Bahagia, sepi dan syahdu
Membuat aku tak Lelah berpacu
Aku yang terlahir di tepinya malam
Terpatri senyuman puas jika dia t’lah datang
Menghiburku, menemaniku dan mendengarkanku
Aku yang gelisah…
Aku yang lelah..
Aky yang relakan pasrah….
Tidur di pelukan gelapnya malam
Aku…aku..aku yang takkan Lelah
Berkumandang di tepian malam…
( Gunawan Tambunsaribu)
Jangan Siksa Dia
Dimana keadilanMu Tuhan
Yang selama ini kucari dan terus kucari
Tentang hilangnya sebuah hati
Ku tahu Kau yang mengijinkannya terlahir
Kau yang membentuk dia di Rahim ibuku
Kau jua yang berikan dia nafas hidup
Dan Kau yang ‘kan selalu
Memberikan dia waktu, hari dan saat untuk memujamu
Namun hatiku terus bertanya
Dimana letak keadilanMu
Dia yang tak tahu berada dimana
Dia yang hilang dari pandangan mataku
Dia yang dulu begitu bersahaja dimataku
Mengapa dia berubah dalam usia yang masih belia
Tuhan.. satukanlah jiwa dan tubuhnya
Jangan siksa dia Bapa dalam ketidakpastian
Peluk dan rangkul dia Bapa
Kembalikan kasihMu dalam nafasnya
Jaksa siksa dia Bapa dalam amarahMu
Kasihi dia Bapa dengan ampunMu
Kembalikan dia menjadi hambaMu
Yang selalu akan memujiMu
Yang ‘kan selalu bersyukur atas KasihMu
Bapa…!
Kembalikan dia jadi hambaMu yang seia
Satukan dia dalam KasihMu
Bapa..!!
Jangan sakiti dia
Amen…
( Gunawan Tambunsaribu)
Birahi Sang Malam
Kenikmatan yang kurasakan
Adalah didekap oleh sepinya malam
Aku pun tertawa sendiri
Walau hanya di dalam hati
Aku bisa rasakan
Kehangatan nafas sang malam
Menciumi sekujur tubuhku
Menghangatkan kedinginan suasana hatiku
Membangkitkan birahi nafsuku
Merangkul setiap rangkaian syair-syair hatiku
Aku terlahir untuk sang malam
Aku ditakdirkan hanya untuk bercinta dengan malam
Hingga aku tak mau berpisah dari malam
Hingga aku tak mau terpisah dari malam
Karena aku selalu rindu akan pelukan sang malam
Biarkanlah cintaku terhanyut dalam birahi sang malam
Karena disanalah hidup matiku bersemayam
( Gunawan Tambunsaribu)
Setegar Batu karang
Aku tahu alaminya cinta pastilah indah..
Wajah mereka yang jatuh cinta selalu cerah…
Ucapan keluar dari hati, tak pernah ada amarah
Sikap atas dasar cinta terlihat megah
Perasaan itu terbentuk sesaat ku mengenalmu
Ada desiran berbeda saat jemari kecilmu kugenggam
Inginku membawamu lari dari hiruk-pikuk dunia..
Senyummu menjadi bahan bakar daya juang kerjaku..
Celotehmu ciptakan tangga lagu dalam rongga telingaku
Hingga ku tertidur, kepalaku serasa selalu di pangkuanmu
Aku begitu menyayangimu lebih dari hidupku sendiri..
Tak pernah ku tersiksa dengan tubuh yang kering kerontang
Tak pernah aku rishi dengan uban yang mulai menjamur..
Hidup ini kian berat
Tapi tak mengurangi niatku untuk selalu memikirkanmu…
Cerita indah akan selalu dikenang..
Meskipun seluruh dunia sudah tidak ada lagi..
Rasa sayang yang terucap lisan entahkan masih terjaga…
Atau malah telah sirna pergi berganti sepi..
Kesibukan duniamu membuat semua berubah
Adakah rasa sayang tulus bisa tergerus oleh kesibukan dunia?
Kau kini sudah tak memiliki rasa itu lagi, semua sirna..
Ribuan alasan pun tidak akan menyelesaikan konflik batin yang tercipta..
Ketika hati telah menilai maka tidak akan berlaku logika..
Kau selalu melakukan apa yang baik menurut hatimu..
Tanpa mau sedikitpun mengerti apa yang terbaik untuk kita..
Kenapa hanya aku, selalu aku yang harus mengerti?
Bukankah cinta itu tentang ‘kita’, bukan ‘aku atau kamu’
Akupun hanya bisa berharap cinta kasih sayang yang terucap
Benar-benar tertancap kuat di lubuk hatimu terdalam
Agak nampaklah ketulusan dalam bersikap..
Tiada mudah kita saling melupakan…
Kasih dari Surga
Pendar kemulau cahaya matahari pagi..
Terduduk masih dalam bayangan rembulan malam tadi..
Hembusan nafas perlahan mungkin tenangkan hati..
Lamunan tiada berhenti datang silih berganti..
Wajah-wajah yang sangat kukenal bergelayut lagi..
Menggantung kaku diujung mata membentuk bias pelangi..
Ganya deraian air mata kerinduan sebagai jawaban pasti..
Air mata membuncah symbol ketulusan dalam diri..
Atas ribuan memori kenangan yang tercetak rapi..
Atas doa yang masih tetap dipanjatkan, agar aku
Bahagia sebelum menyusul mati.
Atas titipan patuah yang seakan tak pernah hanyut bersama badai hidup ini..
Mereka sungguh hebat, tak henti lisanku meracau memuji…
Sebuah kenangan hidup, dan tak akan terganti..
Peluk seluruh keresahanku, hidup tlah penuh dengan duri..
Yakinkan aku bahwa kasih sayang kalian masih menemani..
Hingga kelak aku bisa untuk sekedar melukis sketsa kebahagiaan surgawi..
Antara kenangan dan Impian
Akrhinya hati akan terbawa pergi..
Terbang bersama harap dan benci yang tak pudar..
Mendaki asa bak sandiwara berujung luka..
Merajut kembali puing-puing dari pecahan kenangan..
Sulit kita dalam nada, mudah jatuh dalam dosa..
Seringai tipis usaha hapuskan getir hidup..
Coba berdiskusi dengan tembok lusuh nan bisu..
Tatapan nanar begitu saja kuterima, dingin & lembab..
Disana ada sepenggal nama, kini hanya ada sebait doa..
Mengusung rindu terbawa badai ketidakpastian..
Kemudian hilang oleh sepoi angin bertema ilalang..
Tidak pernah hati bisa terungkap kata..
Kadangpun, bisam hanya sia-sia
Hilang harap munculkan jawab..
Bagai Mentari yang sinari alam semesta..
Kini kukencangkan pelana kuda ksatria..
Siap kugapai mimpi yang tertulis disana..
Jauh diatas sana..
Kanvas Rindu untuk Nonaku
Nonaku..
Kutulis ini dalam kaku..
Dalam ketersendirian waktu..
Gores perlahan kanvas ungu..
Cibiran indah sang saksi bisu..
Nonaku..
Sabarlah dalam menunggu…
Hidup amat naif untuk diburu..
Zaman memang berganti melulu
Kuatkan hatimu agar tetap satu..
Ikat rindumu agar tetap syahdu..
Nonaku..
Banyak sudah episode berlalu
Kau lihat langit tetap biru..
Desir angin semilir tetap merdu..
Jika utuh kau jaga rasa yakin itu..
Aku tetap menjadi langit dan angin bagi hidupmu..
Nonaku..
Kau tahu, Tuhan tahu segala sesuatu..
Sudikah kau merajut padaNya untukku..
Bisakah kau merayuNya dalam sujudmu
Lalu beritahu aku..
Bahwa Dia akan meridhoi satu..
Kebersamaan yang tak lekang oleh waktu..
Setangkai Rindu untuk Ibu Di Alam Baru
Kasih sayangmu ibu..
Tercurah penuh waktu..
Padaku sang anakmu,,
Menguntai syahdu..
Semerdu lagu..
Ribuan laku sia-sia
Bermodal nafsu dunia..
Mengiris hatimu terluka..
Meluka jiwamu durja..
Hilangkan senyunm tawa..
Sakitmu meluruh ketegaran..
Jeritmu meruntuh keceriaan..
Terkulai lemas kau kesakitan..
Rauang medis tak meringankan..
‘Enyahlah kau sakit, sialan!’
Hancur lebur..
Ombak berdebur..
Mengalur..
Mengubur..
Harap tlah menjamur..
Maaf untuk ibu tercinta..
Kau tinggalkan aku putus asa..
Anakmu takt ahu balas jasa..
Hanya doa di atas nisanmu saja..
Terima kasih ibu terkasih..
Tiada aku ingin berdalih
Hidup ini telah menyerpih..
Ku berusaha ntuk tidak tertatih..
Jalani nuansa kehidupan hitam dan putih..
Cinta Ibu Tak Terganti
Kutatap seraut wajah penuh cahaya..
Mata yang pancarkan sejuta kasih..
Begitu damai dunia dalam peluknya..
Tak ingin lepas walau ribuan tetes embun janjikan kesejukan..
Goresan penaku selalu tentang dirinya..
Tentang kebanggaanku lahir dair rahimnya..
Namun semakin aku berusaha menuliskan..
Kurasakan kertas dan tint aini tak akan cukup..
Kadang terlihat olehku matanya sembab..
Terisak untuk sekedar mengadu..
Betapa dunia tak lagi bersahabat..
Mengubur banyak impian akan kebahagiaan..
Ibu..
Sungguh kau malaikat bagiku..
Berjuang menghadapi seorang diri..
Terkadang kusesali tentang keluarga yang tak lengkap..
Sementara kau selalu ajarkan ketulusan padaku..
Ibu..
Lihatlah diriku sejenak..
Putra kecilmu ini sedang merajut harapan
Tak ingin lagi kulihat air matamu..
Janjiku akan selalu bahagiakan hari tuamu..
Cemburu
Kucoba terjemahkan sebuah rasa..
Rasa berbeda tak terungkap bahasa..
Seringkali muncul butakan mata dan jiwa
Menerjang sudut hati yang dahaga..
Walau sering jadi dasar untuk rasa cinta..
Jantung berdegup kencang..
Pikiran panas setengah matang..
Hati bergemuruh tak tenang..
Wanita semua seakan jadi jalang..
Untuk cemburu sang pria malang..
Jarak membentang hadirkan rindu..
Waktu berputar makin menggebu..
Kedua wajah kita tak pernah berpadu..
Semua menyatu membangun ragu..
Pada cinta kasih yang dahulu satu..
Engkau kini telah berubah..
Menyelah impian akan bunga merekah..
Tiada senyum di bibirmu yang merah..
Tiap langkahku terasa serba salah..
Hanya kau yang benar, tak mau mengalah..
Raguku pun terbayar jua..
Rupanya kau telah mendua..
Di belakangku kau bersandiwara..
Pergilah kasih, aku disini tak mengapa..
Tak rela ku menyayangi seorang pendusta..
Kekasih Idaman, Pendamping Kehidupan
Kuuntaikan kata dari hati yang paripurna..
Betapa aku berharap pada sang kekasih,
Yang begitu tulus mendermakan hatinya..
Kekasih yang lebih rela menitikkan air mata,
Melihatku sakit dan tersiksa..
Kekasih tiada yang menghabiskan energi,
Untuk mengkhawatirkan aku selingkuh..
Karena dia tahu kasih sayangnya mampu,
Membuat wajahku tidak mampu berpaling darinya…
Kekasih yang mampu selalu tersenyum melihat wajah amarahku..
Karena dia tahu itu tanda aku masih mengkhawatirkannya.
Kekasih yang selalu berhasil menekan egonya..
Untuk mematuhi nasehatku,
Karena dia tahu aku tidak bermaksud memperbudak atau pun gila hormat padanya,
Tapi sekedar ingin dihargai sebagai calon imamnya kelak..
Kekasih yang tiada menuntut untuk terus diberikan..
Karena dia tahu cinta itulah dasar dari pemenuhan
Kebutuhan yang tulus tanpa harus diminta..
Kekasih yang paham cara membuat pelakunya hangat..
Ketika aku datang dengan ribuan masalah yang berkecamuk di kepala
Pada kekasihku itu, aku tumpahkan sebentuk rasa cinta yang tiada tara..
Getirnya Menunggu Cinta
Lama sudah ku menunggu..
Disini termangu, diam membisu..
Pada sdah api dalam tungku..
Mengantar kepergian bayangmu..
Terbias setitik benci dalam rindu..
Lelah sudah diri menanti..
Menjaga cinta bertahta suci..
Menggenggam janji sekata hati..
Namun kau berlalu pergi..
Tak tahu entahkah akan kembali..
Di balik dinding ini kau bersit senyuman
Di sandaran kursi ini ku berikan pelukan..
Hangat, erat, seakan tak ingin kehilangan..
Kau pun berjanji memegang perkataan..
Untuk kita hanya ajal yang memisahkan..
Benar cinta tak selalu bersama..
Kadang terpaut jarak dan masa..
Benci dan rindu hanyalah dinamika..
Jika kisah tlah terpatri penuh makna…
Hingga kapan pun tetap ada cinta tersisa di jiwa.
Ibu (Saya) Kartini
Hidup dalam gegap gempita dunia..
Merenda perlahan kehidupan fana..
Bertaruh nyawa demi keluarga..
Menyulap rumah menjadi surga..
Surga dunia penuh cinta tak terlupa
Mengandung janinku pun telah memberatkan..
Hangatnya Rahim menemani Sembilan bulan..
Apa lagi dikala aku dilahirkan..
Kau bertarung dengan ajal di tenggorokan..
Demi buah hati, dunia kau pertaruhkan..
Kudengar, mereka memanggil kartini..
Nama wanita yang ku kenal pertama kali..
Begitu elok dipandang, wajah khas Jawa-Pribumi
Kebaikan hatimu sering dipuji..
Aku anakmu pantas berbangga diri..
Siapakah yang akan lupa padamu?
Sementara kau pelopor semangat para ibu..
Agar tidak hanya jadi babu atau tukang sapu..
Bagaimanakah kami tidak rindu?
Kau selalu jadi embun penyejuk hati anakmu..
Kini, rindu tinggallah seteguk fatamorgana..
Kau pergi selamanya di usia empat puluh lima..
Menyisakan tangisku di sela nisan dan bunga..
Wanita tetangga semua turut berduka..
Kami telah kehilangan seorang kartini muda..
Pergilah Kau Masa Lalu
Awal bahagia setelah kau kujumpa..
Benih cinta tersemai tumbuh begitu saja..
Kau tempat keluh kesahku manja..
Tak pernah hampa hari tanpa canda tawa..
Hari yang ada datang silih berganti..
Semakin yakinku akan pilihan hati..
Pasti ini yang kata para pujangga sebagai sejati..
Ah,, hanya dia yang jadi jodohku nanti..
Saat ini aku sadar ada yang berbeda..
Perbedaan scenario, perbedaan alur cerita..
Mata terbelalak, hati merintih menahan derita..
Derita jiwa, derita oleh sebab cinta..
Dunia begitu gelap, langit tak berhenti berputar..
Ketika kudengar pujaanku menikah..
Sebentar nasibku berada di ujung kematian yang mengejar..
Sekujur tubuh tetap di belenggu oleh ribuan rasa tak wajar.
Wanita beruntung itu pilihan orang tuanya..
Seseorang dari kalangan berpendidikan dan bertahta..
Ku akui kini sangat sulit jika hanya cinta dan setia..
Idealism yang selalu nyaris sia-sia.
Aku tak hadir di hari ia berbahagia..
Hanya kukirimkan surat dan album nostalgia..
Bukan harapku ia merasa iba..
Sekedar usahaku memajang kenangan anadi di dbilik hatinya..
Kini ku telah terbiasa sendiri..
Sudah tau, dan mengerti sebuah hikmat hakiki
Ketika kau tulus melepas cintamu bahagia dengan lain hati..
Saat itu pula seribu arwah pujangga mengenangmu sebagai pecinta sejati..
Izinkan Aku Selingkuh, Istriku
Peluh di kening membasahi..
Laksana embun pagi menggapai rerumputan..
Menoda kilatnya pori wajah berbalut debu jalanan..
Matahari senja turun perlahan menyapa peraduan..
Lelah ragaku, Lelah jiwa ini..
Digelayut kebiasaan dalam pekerjaan..
Inikah dunia kerja yang dengannya diri kita berbesar kepala?
Telah hilang senyum ceria di mimic wajah..
Telah sirna pelukan sahabat..
Telah raib kebahagiaan dalam kebersamaan..
Semua menguap berganti emosi para atasan..
Suara ketikan membosankan keyboard dan layer laptop..
Bayaran kerja mencekik tak mencukupi kebutuhan.
Konflik tak berkesudahan sesame pekerja..
Yah, kumpulan keledai rabies menertawakan manusia atas rasa bosannya!
Mawar indah dalam bentuk senyuman sang istri dahulu
Mampu menyuntikkan sejuta gairah untuk hidupku..
Tentu saja, mawar itu tak seindah dulu..
Kini mawarku layu, mawarku tak lagi mewangi..
Rumah dahulu menjelma surgaku di dunia..
Namun kini kurasa sempit tak bernyawa..
Sama saja dengan sekedar balok beratap..
Kamar tidur dahulu tempatku bercumbu menggauli istri
Bak sang Cleopatra..
Kini hanya ruang suram, tiada keromantisan..
Anakku merengek, kudengar seperti sambaran petir..
Tiada pernah nayaman memanjakannya..
Sungguh, mungkinkah ini kebosanan pada kehidupan?
Rasa manisnya gula berasa hambar sahaja..
Aku ingin berlari, menumpahkan semua, membuang emosi,
Menawarkan rasa dahaga, menjemput kesenangan.
Aku yakinkan diri pada sebuah kata rekan kerja..
Diluar sana ada ratusan tempat sumber kesenangan..
Kuringankan Langkah di malam ini..
Mencium kening istri yang sedang terbuai mimpi,
Mengelus ubun-ubun jagoanku..
Akan kuhabiskan mala mini untuk menumpahkan segalanya,
Demi kesenangan yang telah hilang..
Izinkan aku ‘jajan’ di luar istriku..
Izinkan aku mengusir rasa bosan dengan wanita lain..
Semoga diluar sana aku tidak menemukan kebahagiaan
Sejati, yang membuat aku meninggalkanmu selamanya..
Dari: Bukan Siapa-Siapa, Untuk : Indonesia
Hai orang Indonesia!
Masihkah kini kau berbangga..
Hidup di negeri semenanja..
Di tengah manusia ratusan juta..
Bingung, tersesat di hutan rimba
Hai orang Indonesia!
Kalian jadi budak negeri adikuasa..
Hutang disebar dengan umpan dan jala..
Menolak mereka sungguh tak kuasa..
Di negeri sendiri, kalian jadi hamba sahaya..
Hai orang Indonesia!
Kalian hanya berbicara poltik saja..
Implementasi tidak sesuai realita..
Makan uang haram secepat kedipan mata..
Rakyat lapar pun mati sia-sia..
Hai orang Indonesia!
Kalian renang diatas banjir ibukota..
Sampah menggunung beraneka warna..
Anak-anak riang hilang seketika..
Termakan bah dan wabah kolera..
Hai orang Indonesia!
Kalian separah-parah manusia..
Kelamin sering diumbar-umbar kemana-mana
Anak kecil tak berdosa belum tahu makna..
Harus hancur oleh bejatnya sang pedofilia..
Hai orang Indonesia!
Negeri para raja-raja..
Aku bukan siapa-siapa, nama pun tak punya..
Namun, berdoa kusumbang untuk bangsa..
Agar segera keluar dari lubang derita..
Era-Nya Pemimpin Berbeda
Beda era beda cerita..
Sejarah bertutur, bangsa seketika..
Sumpah terucap, rakyat tersiksa..
Kau produk gagal demokrasi kita..
Mengantar negara di titian derita..
Beda era beda cerita..
Pemimpin mau enaknya saja..
Banggakan garuda di dada..
Teori moral kau hafal di luar kepala
Tapi, kau tamak-rakus luar biasa..
Beda era beda cerita..
Politik itu arena sandiwara..
Harus kau siap untuk terluka..
Media sudah makin terbuka..
Hajar kiri, hajar kanan, mencari cela..
Beda era beda cerita..
Mereka berjanji, rakyat percaya..
Rakyat takt ahu itu cinta atau citra..
Rakyat tak paham itu minta atau mitra.
Rakyat jelata tak punya apa-apa..
Beda era beda cerita..
Sebentar lagi (katanya) rakyat berpesta..
Siklus lima tahunan, habiskan uang negara..
Kami takt ahu harus sebagaimana..
Pilihan hanya itu: satu, dua, atau tidak ada!
Beda era beda cerita..
Manusia sudah makin istimewa..
Pandai kritik di sosial media..
Layaknya pengamat sahaja..
Perang kata-kata sesame saudara..
Beda era beda cerita..
Apalah arti kau berkata-kata..
Makin banyak makin terlihat gila..
Aku rakyat jelata hanya titipkan doa..
Dariku, pada Tuhan, untuk calon penguasa negara..
Bima, Tanah Magisnya Indonesia
Ini daerah apa..?
Setiap sudut hanya ada gunung..
Gersang, kering, tak bernyawa..
Dedaun meranggas musnah menyedihkan..
Sapi dan domba enggan keluar..
Tanah lapang jadi lahan pengeringan ikan..
Ini daerah apa?
Kulit masyarakatnya cokelat mengkilat..
Tatapan mata tajam, naluri pembunuh..
Tebasan pedang teteskan darah perang..
Pemudanya tak aku untuk mati muda.
Tanah ini milik siapa..?
Tanah yang ada sejak jaman raja..
Tanah yang magisnya tiada tara..
Rajanya sanggup berjalan di atas samudera..
Rajanya disegani para empunya legenda..
Tanah ini milik siapa..?
Indonesia bernafsu menutupi sejarahnya..
Sejarah tanah yang berjuang melawan jepang belanda..
Sejarah tanah yang harusnya jadi daerah istimewa..
Tanah dengan potensi yang luar biasa..
Kenapa masih bertanya..?
Ini bukan tentang aceh ataupun jogja..
Ini juga bukan masalah Jakarta apa lagi Papua
Sebuah negeri kecil di seberang sana..
Yang menyisakan jejak kaki Gajah Mada..
Yang seorang kacangan Ki Joko Bodo tak diterima ‘sang penjaga’
Kenapa masih bertanya..?
Tanah ini kering karena jajaran gunung, bukan mati..
Lebih subur dari apa yang terpikir oleh ahli tani..
Dedaun meranggas karena matahari, bukan mati..
Intensitas cahaya matahari tak perlu dicari..
Mata tajam para pemuda, bukan untuk mencaci..
Sebatas ketegasan yang tak rela dinodai..
Kenapa masih bertanya..?
Seberapa pun kuat ditutupi
Tanah ini akan menampakkan diri..
Sejarah tak boleh mati..
Untuk sebuah daerah yang selalu punya jati diri..
Hamba-Hamba Politik
Termenungku di pelupuk mentari pagi..
Teruap embun kembali berganti..
Setangkai ilalang berayun lemah gemulai..
Diliriknya sinis aku sedari tadi..
Seorang pemuda tengah memikirkan negeri..
Begitu heranku dengan hamba politik..
Memperbudak diri dengan pikiran pragmatik..
Polesan citra berbumbu menarik..
Tingkah polah bertumpu pada rasa fanatik.
Pikirannya sempit, hidup kian tak asyik..
Tak peduli siapa nama yang dibela..
Tak mengerti makna dibalik cara..
Hanya gila akan data dan angka..
Sengaja mengesampingkan fakta agama..
Nyata kini sekularis tengah merajalela..
Jagoan mereka tidak boleh dikritisi..
Darah juang penuh militansi..
Dikedepankan hingga berani mati..
Siapa menghujat seakan siap dikuliti..
Siapa menghina seakan siap di kebiri dan dibully..
Sampai kapan akan terus bertahan..
Jika calonmu kelak menjadi pemimpin rendahan..
Tidakkah dia akan kau tinggalkan..
Begitulah selalu hikayat kepemimpinan
Sejak dulu, roda politik yang telah kita lewatkan..
Remaja Di Ujung Zaman
Hikayat cinta, bicara remaja..
Cerita insan manusia manusia bernada manja..
Pagi bahagia, siang terlena, malam terluka..
Nodai tawa bertukar galau menyiksa..
Tak pernah berbeda memahami warna dunia..
Cinta berbagai memberi setulus hati..
Bukan rupawi, janji, pun materi..
Bukan ajang perburuan nafsu syahwati..
Bukan takaran nilai harga diri..
Iblis hanya membual tentang cinta sejati..
Terang saja, remaja hilang harapan..
Linglung lihat jalan, semua inginkan instan..
Gengsi dibesarkan, walau hanya orang pinggiran..
Ilmu sejengkal kuku tak pernah diberdayakan..
Kini asmara datang, pikiran makin tak karuan..
Bicara remaja, jaminan bangsa..
Ini gambaran negara penuh nelangsa..
Ayah serasa asing menatap anaknya..
Ibu sudah tidak peka dalam merasa..
Anak merdeka menggores dosa.
Remaja, bunga yang merekah..
Bertahta kelopak dan daun indah..
Tiada pernah berubah merah..
Ketika musim belum siap merubah..
Kini, kuselip doa demi menghapus gundah..
Kalian, Sejiwa yang Hilang
Ku berjalan dalam sebuah lingkaran..
Mengikat tangan untuk sebuah tujuan..
Menerobos malam dari ribuan jalan..
Begitu erat seakan tak tergoyahkan..
Langkah kaki kuayunkan hanya bersama kalian..
Piring lusuh sering menjadi alas makan bersama..
Tanah lapang kering menyisakan jejak sepatu kita..
Bibir lautan surut menunggu tawa cerita seperti biasa..
Pepadi pun layu mengantar hilangnya manusia sejiwa..
Banyak sudah yang tlah terjadi dari masa ke masa..
Kalian rela menjadi bara api, ketika aku kedinginan..
Kalian mampu menjadi lentera, saat aku di kegelapan..
Kalian sanggup menjadi angin, terbangkanku gapai angan..
Kalian bisa terus menjadi putih, hingga aku tau hitam kehidupan..
Kalian pahami aku, layaknya tanah yang menerima daun berguguran..
Mimpiku ternyata tak selamanya indah..
Angan tentang kalian perlahan musnah..
Ada cinta lain yang membuat berubah..
Menganga jurang dalam seakan harus berpisah..
Lepaskan genggaman ini, lalu bersama dia pergilah.
Ku paham atas segala perbedaan tak terhindari..
Pandangan berbeda membenamkan persamaan visi..
Biarlah lingkaran hidup kuarungi sendiri..
Bertahan dengan wadah cinta yang pernah kalian bagi..
Mungkin inilah hidup yang mesti dijalani, bukan disesali.
Karya Sastra berbentuk syair yang terakhir dapat dilihat dalam penerbitan Balai Pustaka tahun 1920-an dan tahun 1930-an. Karya sastra tersebut dikritik karena hanya mementingkan bentuk sehingga terdapat penggunaan kata-kata yang kurang perlu karena hanya menyamakan jumlah suku kata dan rima akhir.
Baca juga : Puisi Chairil Anwar Senja di pelabuhan kecil