30 Puisi-Puisi WS Rendra Tentang Cinta Terbaik dan Populer

By | 2022-12-03
puisi-ws-rendra-tentang-cinta
puisi ws rendra tentang cinta

Puisi WS Rendra Tentang Cinta – Karya Sastra Indonesia yang tidak pernah habis oleh waktu adalah Puisi. Sebuah rangkaian kata yang tersusun dalam bait yang berisi makna dan memiliki estetika ketika disampaikan, memiliki pesan kuat yang selalu disampaikan dalam setiap isinya.

Indonesia sendiri banyak melahirkan  sastrawan-sastrawan terkemuka yang bukan hanya menjadi legenda nasional namun juga terkenal hingga manca negara. Salah satu sastrawan yang terkenal dengan puisi-puisi yang luar baisa sejak dia masih muda yaitu Willibrordus Surendra Broto Rendra  atau biasa di sebut W.S Rendra.

Baca juga: Mengenal Puisi Mantra

Mengenal W.S Rendra

W.S Rendra memiliki julukan Si Burung Merak, karena penampilan memukaunya selalu berhasil membuat para penonton terpesona. Beliau juga menciptakan tidak hanya puisi namun juga cerpen, drama, dan berbagai macam karya sastra lainnya.

Kemampuan sastra W.S Rendra sudah ia miliki sejak beliau duduk di bangku SMP, dimulai dengan menulis puisi, cerpen dan bahkan drama dalam berbagai kegiatan di sekolahnya. Kemudian tahun 1952 ia pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa kala itu pada majalah Siasat. Kemudian karya puisinya pun semakin menghiasi berbagai macam majalah. Sebut saja Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru.

Tidak hanya berkecimpung dalam dunia sastra, W.S rendra juga terjun dalam dunia perfilman. Beberapa film yang dibuat seperti :

  • Cintaku Jauh di Pulau (1972)
  • Terminal Cinta (1977)
  • Yang Muda yang Bercinta (1977)
  • Al Kautsar (1977)
  • Lari dari Blora (2007)
  • Kantata Takwa (2008)

Puisi-Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Puisi WS Rendra Tentang Cinta – Salah satu puisi karya w.s rendra terkandung dalam buku Puisi-puisi cinta. Buku ini berisi puisi ws rendra tentang cinta. Buku ini juga menjabarkan berbagai macam puisi cinta W.S Rendra yang terbagi dalam tiga masa yakni:

  • Puber Pertama (1954-1958) ditulis ketika pada masa masih menjadi mahasiswa UGM
  • Puber Kedua ( 1968-1977) ditulis ketika telah selesai kuliah di NewYork
  • Puber Ketiga (1992-2003) ditulis ketika Indonesia dalam masa reformasi 1998

Berikut ini adalah kumpulan Puisi WS Rendra Tentang Cinta berdasarkan tiga masa tersebut:

Puber Pertama

Permintaan

Wahai, rembulan yang bundar

Jenguklah jendela kekasihku!

Ia tidur sendirian,

Hanya berteman hati yang rindu.

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Rambut

Rambut kekasihku

Sangat indah dan Panjang

Katanya,

Rambut itu menjerat hatiku

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Kangen

Pohon cemara dari jauh

Membayangkan Panjang rambutnya

: maka aku pun kangen kekasihku

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Baju

Amat sayang mencuci bajuku

Karena telah melekat

Air mata kekasihku

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Papaya

aku bilang pada bujangku

tak usah memanjat papaya.

Aku sendiri akan memanjatnya.

Akan kupulih yang paling ranum dan tua

Lalu kucuci sendiri

Dan kumasukkan ke dalam

Tas laken hijau

Kemudian,

Akan kuantar ke rumah kekasihku

Supaya ia sembuh dari sakitnya.

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Sepeda

Aku harus mengendarai sepeda hati-hati

Menghindari jalan becek

Mematuhi aturan lalu-lintas

Sebab yang kupakai sepeda kekasihku

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Rok Hijau

Rok hijau kekasihku

Seperti kulit dari dagingnya

Kami tak pernah membosaninya

Karena ia penuh kenang-kenangan.

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Kami Berdua

Karena sekolah kami belum selesai

Kami berdua belum dikawinkan

Tetapi di dalam jiwa

Anak-cucu kai sudah banyak

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Kegemarannya

Pacarku gemar

Mendengar aku mendongeng

Dalam mendongeng selalu kusindirkan

Bahwa aku sangat mencintainya.

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Tempramen

Batu kali

Ditimpa terik matahari.

Betapa panasnya!

Ketika malam kembali membenam

Kali pun tentram.

Bulannya sejuk

Dan air bernyanyi

Tiada henti

Jika kita marah

Pada kekasih

Selamanya tak bisa lama

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Pahatan

Di bawah pohon sawo

Di atas bangku Panjang

Di bawah langit biru

Di atas bumi kelabu

-istirahatlah dua buah hati rindu

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Kepada Awan Lewat

Kepada sebuah awan lewat

Aku berkata:

“Engkaulah sutra yang kembara

Bulu domba lembut putih rupa!

Wahai, lindungilah matahari bagai bara

Kerna kekasihku sedang berjalan

Kembali pulang dari sekolahnya!”

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Tobat

Tuhan,

Aku telah bertobat

Aku telah merasakan apakah neraka itu.

Sebab kemarin,

Pacarku menangis

Di harapanku.

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Sepeda Kekasih

Lebih baik

Aku makan nanti saja.

Sekarang

Memperbaiki sepeda rusak kekasihku.

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Dua Burung

Adalah dua burung

Bersama membuat sarang.

Kami berdua serupa burung

Terbang tanpa sarang.

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Telah Satu

Gelisahmu adalah gelisahku.

Berjalanlah kita bergandengna

Dalam hidup yang nyata,

Dan kita cintai.

Lama kita saling bertatap mata

Dan makin mengerti

Tak lagi bisa dipisahkan

Engkau adalah peniti

Yang telah disematkan

Aku adalah kapal

Yang telah berlabuh dan ditambatkan.

Kita berdua adalah lava

Yang tak bisa lagi diuraikan.

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Optimisme

Cinta kita berdua

Adalah istana dari porselen.

Angin telah membawa kedamaian

Membelitkan kita dalam pelukan.

Bumi telah memberi kekuatan,

Kerna kita telah melangkah

Dengan ketegasan.

Muraiku,

Hati kita berdua

Adalah pelangi selusin warna

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Pantun

Burung dara putih dan jingga

Terbang ke sarangnya.

Dua badan satu jiwa

Rumput hijau penghidupan.

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Ayam Jantan

Kekasih sangat payah

Setelah bersamaku menyusuri kota.

Sekarang tidur nyenyak melepas Lelah

Dalam bahagia dan mimpi

Sebab itu,

Wahai ayam jantan,

Janganlah berkokok terlalu pagi!

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Janganlah Jauh

Janganlah jauh

Bagai bulan

Hanya bisa dipandang

Jadilah angin

Membelai rambutku.

Dan kita nanti

Akan selalu berjamahan

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Kekasih

Kekasihku seperti burung murai

Suaranya merdu.

Matanya kaca

Hatinya biru.

Kekasihku seperti burung murai

Bersaing indah di dalam hati

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Angin Jahat

Angin yang garang

Memukuli pintu.

Burung di langit

Kalut dalam pusaran.

Daun-daun berguguran

Di atas jalanan.

Angin!

Ya, angin!

Janganlah kau ganggu

Kekasih menuju padaku.

Sagan, 1958

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Membisiki Telinga Sendiri

Biru.

Hari kusam dan bergeser lamban.

Radio mengingatkan lagu kenangan

Dengan kekasih yang di riba bumi.

Kok aneh.

Kuingin hari lebih cepat berlalu

Dan terpupuslah segala dongeng itu.

Alangkah sedihnya kalau sudah kutahu,

Atas segala keluh,

Mereka sudah jemu.

Tapi darahku tak bisa tahu

Dan pada arusnya masih juga menderu

Lagu ratapan yang Panjang.

Kukata pada diriku:

Rendra kau harus berbuat apa-apa

Kalau tidak, bisa gila.

Jadi kulangkahkan kakiku.

Selanjutnya,

Dengan sepatu karet kujalani Pasar Pon.

Di sini hidup berlangsung dengan semangat

Dan alir keringat bermuara senyuman sehat.

Begitu detik berlalu,

Begitu terpancar lagu.

Harus kubuat apa-apa,

Kalau tidak,

Bisa gila.

Kukenal Mansyur Samin,

Penyair anak Sumatra

Yang menggadaikan kereta anginnya

Untuk sekolah di Tanah Jawa.

Begitu detik berlalu,begitu terpancar lagu.

Kupergi makan ke Warung Tiga Bola,

Sepiring nasi hati rendang.

Di sini kujumpa penyanyi suka tertawa

Yang sering makan berutang.

Harus kubuat apa-apa

Kalau tidak, bisa gila

Di Pasar Pon kukenal si Tatak

Dengan bininya telah berkembang biak.

Anak banyak, kerja banyak, kesenangan banyak

Kerna satu yang tak banyak,

Mimpi indah yang memuncak.

Begitu mereka maju,

Seluruh hidupnya berlagu.

Ada Mbah Kasim penjual jamu.

Mulai moda; kecil dulu.

Siang-siang baca koran,

Sore mandi dan minum kopi.

Malam kerja kurang enak.

Sekarang tidurnya nyenyak.

Mereka berlalu maju,

Seluruh hidupnya berlagu.

Mari kukenang si Tatak.

Apanya yang dipunya serbabanyak.

Mansyur Samin, Rakhman penyanyi,

Mbah Kasim, dan banyak lagi.

Juga Bang Buyung yang jarang mandi

Hidupnya seperti main sulapan

Empat hari tahan tak bisa makan

Terus hidup dan banyak dongeng

Sebenarnya sudah bisa kupupus kesedihanku.

Bisa kubawa dansa muda-mudi

Cuma aku sendiri yang keras kepala

Lukaku sudah muda, tetapi kugaruk lagi.

Kucari sendiri kesedihanku.

Aku cuma lesu dan sedikit kepayahan.

Perasaan tenggelam di dalam-dalamkan

Ayo diriku, kok begitu

Soalnya kan sudah ketemu.

Mereka berlalu maju,

Seluruh hidupnya berlagu

Harus kubuat sesuatu,

Tiada pos tempat menunggu

Solo, 1954

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Bunga Gugur

Bunga gugur

Di atas nyawa yang gugur

Gugurlah semua yang bersamanya.

Kekasihku.

Bunga gugur

Di atas tempatmu terkubur

Gugurlah segala hal ihwal antara kita.

Baiklah  kita ikhlaskan saja

Tiada janji ‘kan jumpa di sorga

Karena di sorga tiada kita ‘kan perlu asmara.

Asmara Cuma lahir dibumi

(di mana segala berujung di tanah mati)

Ia mengikuti hidup manusia

Dan kalau hidup sendiri telah gugur

Gugur pula ia bersama-sama

Ada tertinggal sedikit kenangan

Tapi semata tiada lebih dari penipuan

Atau semacam pencegah bunuh diri.

Mungkin ada pula kesedihan

Itu baginya semacam harga atau kehormatan

Yang sebentar akna pula berantakan

Kekasihku.

Gugur, ya, gugur

Semua gugur

Hidup, asmara, embun di bunga

Yang kita ambil cuma yang berguna.

Solo, 1954

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Puber Kedua

puisi-ws-rendra-tentang-cinta

Surat Seorang Istri

Suamiku yang merantau

Malam ini bulan pucat

Pohon-pohon kelabu

Berayun, dia tas khayalan pucat.

Dan betapa pulal kelabu wajah hatiku

Kerna aku tahu, suamiku,

Hari natal yang bakal datang

Kau tidak bisa pulang.

Bertapa hambarnya rumah

Tanpa bau rokokmu

Dan bila hujan berdesar

Kurindu mendengar bisikmu

Yang bisa kudengar

Bila pipi kita beradu.

Sarung bantalmu Sudah kucuci

Dan telah pula kubelikan

Tembakau kesukaanmu.

Pun telah aku bayangkan

Kau duduk dikursimu

Menggulung rokok daun nipah

Sementara di luar

Hari bertambah tua.

Lalu datang suratmu

Yang hanya membawa rindu

Tapi bukan tubuhmu.

Aku menangis kecil, suamiku.

Tapi aku akan tabah, lakiku

Kupalingkan hati dari segala pilu

Dan akan kuturut segala perintahmu

Engkau memang rajawali, Abang!

Tabah dan mengagumkan!

Harus kulepas engkau terbang

Bila penat mari kutimang.

Lelaki itu batang pohonan

Dan perempuan adalah pupuknya.

Rumah kita tetap tenteram:

Sorga kita berdua yang sederhana.

Rumput-rumput kusiangi

Dan di lantai yang bersih

Bermain anak-anak kita.

Mereka rajin menggosok gigi

Dan selalu menyambut nama bapanya

Di dalam doa malam mereka.

Sekali Toto bertanya tentang kau.

Kubelai rambutnya dan kukatakan padanya:

“Bapa sedang terbang, tapi bakal pulang.

Ia seperti buurng besar. Burung elang!”

Dan ia lalu berkata:

“Bapa burung elang dan Toto: Dakota!”

Wah, mulutnya sangat lucu

Waktu berkata ingin jadi penerbang.

Sekali kuajak anak-anak kita

Jalan-jalan di pematang

Sitti asyik mengagumi kupu-kupu

Sedang pada putra-putra kita

Aku berkata:

“sekali waktu Bapa datang

Dan membeli sawah lebar untuk kita!”

Toto berkata:

“Tapi aku akan terbang!”

Dan Nono bersuara:

“Mama, aku bantu bapa, ya?”

Ah, mereka sangat lucu dan menyenangkan!

Mata mereka besar

Sebagai bapanya.

Di hari Natal aku akan berdoa:
“Jesus Kecil jang manis!

Berilah lekas suamiku pulang

Bila tujuannya telah berpegang.

Supaya tiap sore

Bisa kuladeni teh yang panas

Dan bila ia akan merokok

Bisa kunyalakan api baginya”

Istrimu yang setia

Siasat, 30 April 1968

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Balik Kamu Balik

Balik kamu balik.

Baliklah kamu ke daerah mewahmu

Belalilah kembali renda-renda alas mejamu

Tidurlah kembali di seprai linenmu

Balik kamu balik.

Jadilah patung di depan TV-mu

Mereka tinggal di rumah tanpa watak.

Yang perempuan kering yang laki botak.

Mereka takut pada fantasi.

Mereka takut pula telanjang.

Dengan kaku mereka duduk di kursi.

Badan dan si jiwa selalu berjurang.

Hidup mereka seperti pepatah.

Serba diatur serba diarah.

Dan tutur kata sertabuah pikiran mereka

Berbau karbol.

Mandul tanpa jiwa.

Balik kamu balik,

Seretlah pergi slogan-sloganmu

Bali kamu balik.

Aku ludahi undanganmu,

Sekretarismu cantik tapi cengeng.

Kantormu mirip kuburan belanda

Balik kamu balik.

Aku tak doyan bahasa bukumu.

Hidup bukan ilmu hitung;

Penuh rahasia, penuh hal tak terduga.

Tak mungkin disederhanakan dengan doktrin.

Ilham-ilham dalam kehidupan

Takkan bisa diatur oleh kebijaksanaan.

Yang doktriner.

Kelokan-kelokan pengalaman kehidupan

Takkan bisa ditebak oleh dalil-dalil computer

Demikianlah selalu sudah sejak dahulu.

Ada yang malas.

Ada yang rajin

Yang malas rindu pegangan

Yang rajin rindu kesempatan

Demikianlah selalu sudah sejak dahulu

Ada karang dan ada lautan

Ada yang teguh.

Ada yang mengembara.

Balik kamu balik

Aku tak suka tata riasmu

Kamu memuja cat

Dan tak mengerti tentang alam.

Balik kamu balik.

Omonganmu datar dan fana

Balik kamu balik.

Tak usah kita berpacaran

Rayuanmu penuh klise.

Ciumanmu terlalu sopan

Balik kamu balik

Hidupku repot lantaran kamu

Kamu usung adat dan tata cara.

Bahkan di ranjang dan di kamar mandi.

Balik kamu balik

Tak usah kita berjamahan.

Ketika matahari muncul dari timur.

Sayur-mayur mengembangkan daun-daunnya

Dan sambil menatap mega

Yang penuh pergantian rupa.

Di saat seperti itu

Aku mengepakkan lengan-lenganku.

Ingin terbang

Memasuki rahasia warna-warna

Telingaku mendengar

Sendok berantuk dengan garpu

Para wanita menyiapkan saran

Hidungku mengendus bau anak-anak

Menyongsong hari sekolahnya.

Kepada hidup.

Aku mengembangkan kedua tanganku.

Di antara yang rutin

Menyusuplah fantasiku

1972

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Bukannya di Madrid

“akhirnya kita bertemu lagi.

Di sini,

Di tempat ini.

Peluklah aku!”

+          Sangat berbahagia

Memeluk tubuhmu lagi.

Sangat tenteram

Mencium kembali bauu leher dan dahimu

Yang lama kurindukan.

Yuliana,

Selamat datang di Indonesia.

“aku mencarimu! Aku mencarimu!

Sangat jauh aku mengembara.

Sebermuka sakit hati

Kerna kau telah berdusta.”

+          Itu salahku.

“kau telah berjanji

Dari Amsterdam akan ke Madrid.

Dan ktia akan bertemu

Di bulan Mei tanggal 2

Di paseo del Prado di Hotel Nasional.

Dan aku akan muncul dalam pakaian jawa.”

+          Kekasihku, sangat baik hatimu.

“Hari itu di Madrid di Paseo del Prado

Di Hotel Nasional

Di bulan Mei tanggal 2

Aku datang dengan pakaian Jawa.

+          Kekasihku, sangat baik hatimu.

“Hari itu di madrid di Paseo del Prado

Di Hotel Nasional

Di bulan Mei tanggal 2

Aku datang dengan pakaian jawa,

Tapi kau tak di sana”

+          Dari Amesterdam aku tidak ke Madrid.

Pada saat terkahir di lapangan terbang

Aku mengubah Haluan

Dan naik pesawat yang menuju Calcutta

Di sana aku demam

Hatiku tak tentram

Ingat akan janjiku padamu

Tapi toh akhirnya aku terbang ke Jakarta.

Lalu ke mari, ke tempat asalku

“Gerah dan pitam.

Kau tinggalkan aku di Madrid.

Dengan penuh perhatian

Kaum lelaki memandangku

Perempuan berambut blonda

Dalam pakaian Jawa.

Aku merasa tolol

Seminggu menantimu

Dalam kain dan kebaya Jawa

Aku merasa tolol

Seminggu menantimu

Dalam kain dan kebaya Jawa

Aku merasa kauhina

Dustamu sangt pedih akibatya”

+          Yuliana

“Rusman.

Sambil menjalani seluruh Madrid

Dalam hati aku menjeritkan namamu

Rusman! Rusman!

Di kamar aku menangis dan telanjang.

Susu-susuku mengembang.”

+          Yuliana!

“ Aku mencoba tak percaya

Bahwa kau telah berdusta.

Aku pergi ke Plaza de Toros/

Tidak untuk melihat lembu

Di dalam lautan wajah

Yang memuakkan perutku.

Ketika orang-orang bersorak untuk matador

Dengna mulut berbau bawang

Aku sadar akan diriku;

Rusman telah berdusta

Di bulan tak datang ke Madrid.”

+ Ya!

“ Aku kunjungi kafe-kafe

Yang pernah kau sebutkan.

Hambar!

Lalu pada suatu hari

Aku kunjungi Restoran Te El Pilar.

Di sini aku kenal seorang lelaki Spanyol

Aku takt ahu nama lengkapnya.

Tapi seperti yang lain

Ia menoleh bila dipanggil Juan.

Ia bawa aku jalan-jalan

Sambil ia cerita tentang lembu

Aku biarkan ia menjamah dan mencumbuku.

Di Gedung bioskop ia meraba susuku

Aku bawa ia pulang ke hotel

Begitu di kamar diciumnya aku keras sekali

Dan aku membalas menciumnya.

Lalu ia membuka celananya

Dan aku hamper tidur dengan dia.

Tapi tiba-tiba aku ingat akan kau.

Aku menangis dan juga tiba-tiba aku benci bau

Keringat lelaki itu

Aku menolak

Aku mencakar mukanya

Aku mengancam akan menjerit

Bila ia tidak pergi segera.

Ia merasa terhina

Ia tuduh aku kejam dan gila,

Membangkitkan nafsunya

Untuk bkin kesal melulu

Lalu ia tampar mulutku keras sekali

Kemudian ia pergi

Sambil meludah kepadaku.”

+          Yuliana! Yuliana!

Hukumlah aku.

Aku bersalah kepadamu.

“Kamu telah bersalah kepadaku.

Tetapi bagaimana aku akan menghukummu

Selagi kau berada dalam diriku.

Dan aku tak percaya bahwa kau

Telah berdusta begitu saja

Ada sesuatu antara kita

Bukannya lain wanita

Aku tahu itu,

Dari ciumanmu masih terasa

Bahwa aku membawamu

Ke sebuah dunia yang kau kagumi

Yang membangkitkan minat

Yang selalu menantang gairahmu.”

+          Aku telah bersalah kepadamu

di Bulan Mei tanggal 2

aku tak muncul di Madrid.

Dan sejak itu

Kau berhak melupakan diriku.

“sejak di Madrid aku masih selalu

Menyebut namamu:

Rusman! Rusman!

Sejak di Madrid aku mencarimu

Kemana saja.

Aku menulis surat

Kepada teman-temanmu

Di New York. Di Verona. Di Paris.

Di Paris aku kunjungi temanmu

Si pelukis dari roma, Piedro Deurno.

Ia membuka mataku.

Pada suatu ketika,

Kamu bermalam di rumahnya.

Kamu berkata di rumahnya.

Kamu berkata kepadanya

Bahwa kau ingin lahir yang kedua

Engkau berkata:

Di Rahim ibuku

Aku disepuh sari makanan,

Lalu aku dilahirkan dengan hayat dalam diriku.

Kemudian, Piedro, aku memasuki Rahim kedua

Ialah Rahim alam dan lingkungan kehidupan,

Pengalaman dan pengetahuan

Menyepuh seluruh diriku

Seperti keris orang Jawa

Yang lama disepuh dan ditempa,

Dipersiapkan tidak untuk senjata,

Tapi dengan hikmat ia dipersiapkan

Menjadi logam yang sempurna.

Indah. Dewasa. –

Sekarang aku hidup di Rahim ke dua.

Aku hasratkan kelahiranku

Aku bergairah menyibak jalanku

Keluar dari Rahim ini,

Dan sebentar lagi

Akan datanglah kejadian

Aku lahir yang ke dua.

Maka, di saat seperti itu

Dengan penuh hak

Aku bisa berkata:

Aku Rusman!

+          Yuliana!

Aku Rusman!

“Kekasihku,

Dan kau juga berkata kepada Piedro Deurno

Bahwa di Tanah Jawa

Dalam kejadian seperti itu

Orang lalu membuat nama baru

Bagi dirinya.

Dan menyebut nama itu

Nama yang resmi. Nama dewasa.”

+          Meski tanpa nama baru

Sekarang lengkap kelahiranku

“memahami adat aku bertanya

Siapakah namamu?

+          Namaku Rusman.

“Apakah kamu menemu hidup yang baru?”

+          Hidup adalah hidup

Tapi diriku tumbuh dewasa.

Dengan resmi aku berkata.

Dengan resmi aku berkata.

Dengan sadar aku berdiri.

Sikap telah kuntentukan.

“Pergi dari Eropa?”

+          Aku pulang

Menjawab keadaanku.

Sajak-sajak yang nanti kutuliskan

Adalah jawabanku.

“Dan Eropa?”

+          Eropa bukan keadaanku.

Tapi eropa berada dalam diriku

Eropa adalah jeladri

Yang menepuh diriku dalam kandungan kedua

“Dan saya, Yuliana?”

+          Yuliana yang Yulianaku

Adalah dunia yang selalu menantangku.

Yuliana adalah cakrawala

Yuliana adalah abstraksi.

Yuliana adalah universalitas/

“Berdiri di dalam keadaanmu;

Apakah kamu menolak aku?”

+          Menolak cakrawala

Adalah menolak ilham cendikiawan.

Menolak abstraksi

Adalah menolak naluri nalar.

Menolak universalitas

Adalah menolak hakikat perngertian.

Maka, engkau Yuliana

Tidak terpisah dari hayatku.

Berdiri dalam keadaanku

Bagiku berarti

Bertolak dari kenyataan yang khas.

Dan menghayati universalitas

Adalah menangkap madah alam semesta;

Kaki berpijak di bumi

Dan jiwa membubung ke langit,

Begitu laiknya.

“tanpa aku engkau akan sengsara.”

+          Tanpa engkau hidupku pincang

“Aku masuk ke dalam darahmu.”

+ Itu terasa

“Rohku dan rohmu

Tidur bersama”

+ Itu pun gairahku pula

“Hatiku bergelora pula

Melihat kau berdiri di antara bangsamu.”

+          kebangkitan bangs aini harus segera dimulai

Kebangkitan budaya. Peremajaan budaya.

Inilah kebutuhan dasar.

Menguji kembali nilai-nilai lama yang aman.

Tapi gagal menjawab zaman.

Mengerahkan keberanian

Dan meninjau kembali khayalan bangsa.

Menghargai nalar yang merdeka

Dan menjawab tantangan cakrawala.

Untuk ini penyair juga dibutuhkan.

“Matamu bernyala-nyala.”

+          Indonesia adalah ranjang buaianku.

Indonesia adalah kuburanku

Ia aku muliakan

“kerna telah di sini dan melihat sendiri

Aku mengereti kenapa kau cintai bangsamu

Dengan jiwa yang bergelora.”

+          bukan sekadar nasionalisme

“Aku mengerti.”

+          Budaya.

“Ya

Dengarlah,

Aku ingin menarik napas Panjang

Dan memasukkan bagian bumi disini

Ke dalam rabuku, – Ah.”

+          Silakan.

“Terima kasih.

Tetapi aku tak ingin menjadi tamu.

Pakaian adat Jawa yang dulu kubawa ke Madrid

Akan kembali kukenakan.

Rambutku masih Panjang

Dan aku masih cakap

Bergelung cara jawa.

Lalu aku akan menagih janjimu.

Rusma, aku ingin jadi istrimu.”

+          janganlah terjerat oleh hatimu yang dermawan.

Sejak heboh di Madrid engkau pun kubebaskan.

“Tidakkah kau mengerti

Bahwa kau telah berada dalam diriku.

Bahwa kau itu sebuah bayangan

Dibawah sadarku.

Bahwa kau mewakili pengertian

Yang penting nilainya

Di dalam pikiranku.”

+          Bagimu aku universalitas

Kita adalah pertemuan

“Ya. – Dan aku berhak mempertahankan kamu.

Aku hanya sekadar mempertahankan

Apa yang berhak aku pertahankan.”

+          Ingatlah kita penyair.

Penyair lain dari sarjana

Dengan perkasa sarjana mengepakkan sayapnya

Membubung ke langit.

Merintis jalan pikiran kita.

Penyair dekat kepada nasib masyarakatnya.

Ialah nerakanya.

Maka bila sarjana itu dewa

Penyair adalah setan.

Ia terikat kepada nerakanya.

Ia membubung ke langit

Memberontak nerakanya.

Tetapi nerakanya selalu mengikutinya

Kita tak bisa menolak neraka kita.

Kalau mau bisa memilih takt ahu akan adanya.

Tetapi memilih takt ahu

Berarti memilih tergolek di kandungan

Yang gelap meski aman.

Dengarlah!

Aku telah ke Eropa

Dan kau ke Indonesia

Tidak untuk beronani jiwa.

“Rusman! Rusman!”

+          Mendung telah datang bergulung.

November di sini adalah bulan yang basah.

Nah, kau dengarkah

Bunyi gelisah dari jauh itu?

“Anginkah itu barangkali?”

+          Itu angin dan hujan.

Dari jauh sekali mendekat kemai.

“Astaga! Dukunglah aku.”

+          Di ranjang akan kita dengarkan

Rintiknya hujan,

Berderap di rumpun pisang,

Berderap di bubungan

Air tercurah dengan bunyi yang mengasyikkan

Ke pelimbahan.

“Hari itu Madrid

Di Bulan Mei tanggal 2

Di Paseo del Prado

Di Hotel Nasional

Kau kunantikan

Dengan pakaian adat orang Jawa.

Meski kini kita tidak saling memiliki

Kita pengantin di dalam jiwa.”

+ Begitulah kiranya.

“Dan aku akan kembali ke Eropa.”

+          bagus. Aku bangga

“Apakah kau percaya

Bahwa cinta bisa adadi?”

+          Kecuali waktu tak ada yang abadi.

Tapi kamu tak akan aku lupakan.

1977

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Puber Ketiga

Sajak Cinta Ditulis pada Usia 57

Setiap ruang yang tertutup

Akan retak,

Karena mengandung waktu

Yang selalu mengembang.

Dan akhirnya akan meledak

Bila tenaga waktu

Terus teradang.

Cinta kepadamu, Juwitaku,

Ikhlas dan sebenarnya.

Ia terjadi sendiri.

Aku takt ahu kenapa aku sekedar menyadari

Bahwa ternyata ia ada.

Cintaku kepadamu, juwitaku,

Kemudian me-ruang dan me-waktu

Dalam hidupku yang sekedar insan.

Ruang cinta aku budayakan

Tetapi waktu-nya

Lepas dari jangkauan.

Sekarang aku menyadari:

Usia cinta lebih Panjang

Dari usia percintaan.

Khazanah budaya percintaan

(pacarana, perpisahan, perkawinan)

Tak bisa merumuskan

Tenaga waktu dari cinta

Dan kini:

Syairku ini

Apakah mungkin

Merumuskan cintaku kepadamu?

Syair bermula dari kata.

Dan kata-kata dalam syair

Juga me-ruang dan me-waktu.

Lepas dari kamus

Lepas dari sejarah

Lepas dari daya korupsi manusia

Demikianlah

Maka syairku ini

Berani mewakili cintaku kepadamu

Juwitaku,

Belum pernah puas

Aku mencimum kamu.

Kamu bagaikan buku

Yang tak pernah tamat aku baca.

Kamu adalah lumut

Di dalam tempurung kepalaku

Kamu tidak sempurna.

Gampang sakit peur.

Gampang sakit kepala.

Dan tempramenmu sering tinggi.

Kamu sulit menghadapi diri sendiri.

Dan di balik keanggunan

Dan keluwesahnmu

Kamu takut kepada dunia.

Juwitaku,

Lepas dari kotak-kotak Analisa cintamu

Cintaku apda mu ternyata ada.

Kamu tidak molek

Tetapi cantik dan juwita

Jelas tidak immaculata

Tetapi menjadi mitos di dalam kalbuku.

Sampai di sini

Aku akhiri

Renungan cintaku kepadamu

Kalau dituruti

Toh tak akan ada akhirnya.

Dengan ikhlas

Aku persembahkan kepadamu.

Cintaku kepadamu telah me-waktu

Syair ini juga akan mewaktu.

Yang jelas

Usianya akan lebih Panjang

Dari usiaku

Dan usiamu.

                                    Bojong Gede, 18 Juli 1992

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Hai, Ma!

Ma!

Bukan mau yang menggetarkan hatiku.

Tetapi hidup yang tidak hidup

Karena kehilangan daya

Dan kehilangan fitrahnya.

Ada malam-malam

Aku menjalani lorong Panjang

Tanpa tujuan ke mana-mana

Hawa dingin masuk ke abdanku yang hampa

Padahal angin tidak ada.

Bintang-bintang

Menjadi kunang-kuanng

Yang lebih menekankan

Kehadiran kegelapan.

Tidak ada pikiran

Tidak ada perasaan

Tidak ada suatu apa.

Hidup memang fana, Ma!

Tetapi keadaan tak berdaya

Membuat diriku tidak ada.

Kadang-kadang

Aku merasa terbuang ke belantara

Dijauhi ayah-bunda

Dan ditolak para tetangga.

Atau aku telantar di pasar.

Aku berbicara

Tetapi orang-orang tidak mendengar,

Mereka merobek-robek buku

Dan menertawakan cita-cita

Aku marah, Aku taku.

Aku gemetar

Namun gagal Menyusun bahasa

Hidup memang fana, Ma!

Itu gampang aku terima.

Tetapi duduk memeluk lutut

Sendirian di sabana

Membuat hidup tak ada harganya.

Kadang-kadang

Aku merasa ditarik-tarik orang

Ke sana kemari.

Mulut berbusa

Sekadar karena tertawa

Hidup cemar

Oleh basa-basi

Dan orang-orang mengisi waktu

Dengan pertengkaran edan

Yang tanpa persoalan.

Atau percintaan tanpa asmara.

Dan senggama yang tidak selesai

Hidup memang fana

Tentu saja, Ma!

Tetapi acrobat pemikiran

Dan kepalsuan yang di Kelola

Mengacaukan isi perutku

Lalu mendorong aku menjerit-jerit

Sambil takt ahu kenapa

Rasanya

Setelah mati berulang kali

Tak ada lagi yang mengagetkan

Di dalam hidup ini.

Tetapi, Ma,

Setiap kali menyadari

Adanya kamu dalam hidupku ini

Aku merasa jalannya arus darah

Di sekujur tubuhku.

Kelenjar-kelenjarku bekerja.

Sukmaku menyanyi

Dunia hadir.

Cicak di tembok berbunyi.

Tukang kebun kedengaran berbicara

Kepada putranya.

Hidup menjadi nyata.

Fitrahku kembali.

Mengingat kamu, Ma!

Adalah mengingat kewajiban sehari-hari,

Kesederhanaan bahasa prosa,

Keindahan isi puisi.

Kita selalu asyik bertukar pikiran, ya, Ma!

Masing-masing pihak punya cita-cita.

Masing-masing pihak punya kewajiban yang nyata.

Hai, Ma!

Apakah kamu ingat:

Aku peluk kamu di atas perahu

Ketika perutmu sakit

Dan aku tenangkan kamu

Dengan ciuman-ciuman di lehermu?

(Masya Allah!

Aku selalu kesengsem

Pada bau kulitmu!)

Ingatkah? Waktu itu aku berkata:

“Kiamat boleh tiba.

Hidupku penuh makna.”

Wah, aku memang tidak rugi

Ketemu kamu akan di dalam hidup ini.

Dan apa bila aku menulis sajak

Aku juga merasa

Bahwa kemarin dan esok

Adalah hari ini.

Bencana dan keberuntungan

Sama saja.

Langit di luar

Langit di badan

Bersatu dalam jiwa.

Sudah, ya, Ma!

                                    Jakarta, 24 Juli 1992

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Barangkali Karena Bulan

Bulan menyebarkan aroma berahi

Dari tubuhnya.

Yang lalu melekat di daun-daun pohon tanjung

Yang gemetaran.

Seekor kucing jantang mengerang

Dengan suara ajaib.

Mengucapkan puisi yang tak bisa ia tuliskan.

Dan, Ma, aku meraih sukmamu

Yang jauh dari jangkauanku.

Aku tulis sajak cintaku ini

Karena tak bisa kubisikkan kepadamu.

Rindu mengarungi Senin, Selasa, Rabu,

Dan seluruh Minggu.

Menetes bagaikan air liur langit

Yang menjadi bintang-bintang.

Kristal-kristal harapan dan keinginan

Berkilat-kilat hanyut di air kali

Membentur batu-batu yang tidur.

Gairah kerja di siang hari

Di dalam hari menjadi gelora asmara.

Kerna bintang-bintang, pohon tanjung,

Angin, dan serangga malam.

Ma, tubuhmu yang lelap tidur

Terbaring di atas perahu layer

Hanyut di langit

Mengarungi angkasa raya.

                                    Warangan, Juli 2003

Puisi WS Rendra Tentang Cinta

Di akhir hayatnya, W.S Rendra meninggal di Desa Cipayung Jaya, Depok, 6 Agustus 2009. Demikian kumpulan puisi ws rendra tentang cinta. Semoga karya beliau tetap menjadi warisan karya sastra nusantara yang selalu abadi dan tidak pernah mati.

Baca juga : Gurindam Dua Belas Karya Ali Haji

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *