Puisi WS Rendra Tentang Cinta – Karya Sastra Indonesia yang tidak pernah habis oleh waktu adalah Puisi. Sebuah rangkaian kata yang tersusun dalam bait yang berisi makna dan memiliki estetika ketika disampaikan, memiliki pesan kuat yang selalu disampaikan dalam setiap isinya.
Indonesia sendiri banyak melahirkan sastrawan-sastrawan terkemuka yang bukan hanya menjadi legenda nasional namun juga terkenal hingga manca negara. Salah satu sastrawan yang terkenal dengan puisi-puisi yang luar baisa sejak dia masih muda yaitu Willibrordus Surendra Broto Rendra atau biasa di sebut W.S Rendra.
Baca juga: Mengenal Puisi Mantra
Mengenal W.S Rendra
W.S Rendra memiliki julukan Si Burung Merak, karena penampilan memukaunya selalu berhasil membuat para penonton terpesona. Beliau juga menciptakan tidak hanya puisi namun juga cerpen, drama, dan berbagai macam karya sastra lainnya.
Kemampuan sastra W.S Rendra sudah ia miliki sejak beliau duduk di bangku SMP, dimulai dengan menulis puisi, cerpen dan bahkan drama dalam berbagai kegiatan di sekolahnya. Kemudian tahun 1952 ia pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa kala itu pada majalah Siasat. Kemudian karya puisinya pun semakin menghiasi berbagai macam majalah. Sebut saja Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru.
Tidak hanya berkecimpung dalam dunia sastra, W.S rendra juga terjun dalam dunia perfilman. Beberapa film yang dibuat seperti :
- Cintaku Jauh di Pulau (1972)
- Terminal Cinta (1977)
- Yang Muda yang Bercinta (1977)
- Al Kautsar (1977)
- Lari dari Blora (2007)
- Kantata Takwa (2008)
Puisi-Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Puisi WS Rendra Tentang Cinta – Salah satu puisi karya w.s rendra terkandung dalam buku Puisi-puisi cinta. Buku ini berisi puisi ws rendra tentang cinta. Buku ini juga menjabarkan berbagai macam puisi cinta W.S Rendra yang terbagi dalam tiga masa yakni:
- Puber Pertama (1954-1958) ditulis ketika pada masa masih menjadi mahasiswa UGM
- Puber Kedua ( 1968-1977) ditulis ketika telah selesai kuliah di NewYork
- Puber Ketiga (1992-2003) ditulis ketika Indonesia dalam masa reformasi 1998
Berikut ini adalah kumpulan Puisi WS Rendra Tentang Cinta berdasarkan tiga masa tersebut:
Puber Pertama
Permintaan
Wahai, rembulan yang bundar
Jenguklah jendela kekasihku!
Ia tidur sendirian,
Hanya berteman hati yang rindu.
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Rambut
Rambut kekasihku
Sangat indah dan Panjang
Katanya,
Rambut itu menjerat hatiku
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Kangen
Pohon cemara dari jauh
Membayangkan Panjang rambutnya
: maka aku pun kangen kekasihku
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Baju
Amat sayang mencuci bajuku
Karena telah melekat
Air mata kekasihku
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Papaya
aku bilang pada bujangku
tak usah memanjat papaya.
Aku sendiri akan memanjatnya.
Akan kupulih yang paling ranum dan tua
Lalu kucuci sendiri
Dan kumasukkan ke dalam
Tas laken hijau
Kemudian,
Akan kuantar ke rumah kekasihku
Supaya ia sembuh dari sakitnya.
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Sepeda
Aku harus mengendarai sepeda hati-hati
Menghindari jalan becek
Mematuhi aturan lalu-lintas
Sebab yang kupakai sepeda kekasihku
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Rok Hijau
Rok hijau kekasihku
Seperti kulit dari dagingnya
Kami tak pernah membosaninya
Karena ia penuh kenang-kenangan.
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Kami Berdua
Karena sekolah kami belum selesai
Kami berdua belum dikawinkan
Tetapi di dalam jiwa
Anak-cucu kai sudah banyak
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Kegemarannya
Pacarku gemar
Mendengar aku mendongeng
Dalam mendongeng selalu kusindirkan
Bahwa aku sangat mencintainya.
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Tempramen
Batu kali
Ditimpa terik matahari.
Betapa panasnya!
Ketika malam kembali membenam
Kali pun tentram.
Bulannya sejuk
Dan air bernyanyi
Tiada henti
Jika kita marah
Pada kekasih
Selamanya tak bisa lama
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Pahatan
Di bawah pohon sawo
Di atas bangku Panjang
Di bawah langit biru
Di atas bumi kelabu
-istirahatlah dua buah hati rindu
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Kepada Awan Lewat
Kepada sebuah awan lewat
Aku berkata:
“Engkaulah sutra yang kembara
Bulu domba lembut putih rupa!
Wahai, lindungilah matahari bagai bara
Kerna kekasihku sedang berjalan
Kembali pulang dari sekolahnya!”
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Tobat
Tuhan,
Aku telah bertobat
Aku telah merasakan apakah neraka itu.
Sebab kemarin,
Pacarku menangis
Di harapanku.
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Sepeda Kekasih
Lebih baik
Aku makan nanti saja.
Sekarang
Memperbaiki sepeda rusak kekasihku.
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Dua Burung
Adalah dua burung
Bersama membuat sarang.
Kami berdua serupa burung
Terbang tanpa sarang.
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Telah Satu
Gelisahmu adalah gelisahku.
Berjalanlah kita bergandengna
Dalam hidup yang nyata,
Dan kita cintai.
Lama kita saling bertatap mata
Dan makin mengerti
Tak lagi bisa dipisahkan
Engkau adalah peniti
Yang telah disematkan
Aku adalah kapal
Yang telah berlabuh dan ditambatkan.
Kita berdua adalah lava
Yang tak bisa lagi diuraikan.
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Optimisme
Cinta kita berdua
Adalah istana dari porselen.
Angin telah membawa kedamaian
Membelitkan kita dalam pelukan.
Bumi telah memberi kekuatan,
Kerna kita telah melangkah
Dengan ketegasan.
Muraiku,
Hati kita berdua
Adalah pelangi selusin warna
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Pantun
Burung dara putih dan jingga
Terbang ke sarangnya.
Dua badan satu jiwa
Rumput hijau penghidupan.
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Ayam Jantan
Kekasih sangat payah
Setelah bersamaku menyusuri kota.
Sekarang tidur nyenyak melepas Lelah
Dalam bahagia dan mimpi
Sebab itu,
Wahai ayam jantan,
Janganlah berkokok terlalu pagi!
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Janganlah Jauh
Janganlah jauh
Bagai bulan
Hanya bisa dipandang
Jadilah angin
Membelai rambutku.
Dan kita nanti
Akan selalu berjamahan
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Kekasih
Kekasihku seperti burung murai
Suaranya merdu.
Matanya kaca
Hatinya biru.
Kekasihku seperti burung murai
Bersaing indah di dalam hati
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Angin Jahat
Angin yang garang
Memukuli pintu.
Burung di langit
Kalut dalam pusaran.
Daun-daun berguguran
Di atas jalanan.
Angin!
Ya, angin!
Janganlah kau ganggu
Kekasih menuju padaku.
Sagan, 1958
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Membisiki Telinga Sendiri
Biru.
Hari kusam dan bergeser lamban.
Radio mengingatkan lagu kenangan
Dengan kekasih yang di riba bumi.
Kok aneh.
Kuingin hari lebih cepat berlalu
Dan terpupuslah segala dongeng itu.
Alangkah sedihnya kalau sudah kutahu,
Atas segala keluh,
Mereka sudah jemu.
Tapi darahku tak bisa tahu
Dan pada arusnya masih juga menderu
Lagu ratapan yang Panjang.
Kukata pada diriku:
Rendra kau harus berbuat apa-apa
Kalau tidak, bisa gila.
Jadi kulangkahkan kakiku.
Selanjutnya,
Dengan sepatu karet kujalani Pasar Pon.
Di sini hidup berlangsung dengan semangat
Dan alir keringat bermuara senyuman sehat.
Begitu detik berlalu,
Begitu terpancar lagu.
Harus kubuat apa-apa,
Kalau tidak,
Bisa gila.
Kukenal Mansyur Samin,
Penyair anak Sumatra
Yang menggadaikan kereta anginnya
Untuk sekolah di Tanah Jawa.
Begitu detik berlalu,begitu terpancar lagu.
Kupergi makan ke Warung Tiga Bola,
Sepiring nasi hati rendang.
Di sini kujumpa penyanyi suka tertawa
Yang sering makan berutang.
Harus kubuat apa-apa
Kalau tidak, bisa gila
Di Pasar Pon kukenal si Tatak
Dengan bininya telah berkembang biak.
Anak banyak, kerja banyak, kesenangan banyak
Kerna satu yang tak banyak,
Mimpi indah yang memuncak.
Begitu mereka maju,
Seluruh hidupnya berlagu.
Ada Mbah Kasim penjual jamu.
Mulai moda; kecil dulu.
Siang-siang baca koran,
Sore mandi dan minum kopi.
Malam kerja kurang enak.
Sekarang tidurnya nyenyak.
Mereka berlalu maju,
Seluruh hidupnya berlagu.
Mari kukenang si Tatak.
Apanya yang dipunya serbabanyak.
Mansyur Samin, Rakhman penyanyi,
Mbah Kasim, dan banyak lagi.
Juga Bang Buyung yang jarang mandi
Hidupnya seperti main sulapan
Empat hari tahan tak bisa makan
Terus hidup dan banyak dongeng
Sebenarnya sudah bisa kupupus kesedihanku.
Bisa kubawa dansa muda-mudi
Cuma aku sendiri yang keras kepala
Lukaku sudah muda, tetapi kugaruk lagi.
Kucari sendiri kesedihanku.
Aku cuma lesu dan sedikit kepayahan.
Perasaan tenggelam di dalam-dalamkan
Ayo diriku, kok begitu
Soalnya kan sudah ketemu.
Mereka berlalu maju,
Seluruh hidupnya berlagu
Harus kubuat sesuatu,
Tiada pos tempat menunggu
Solo, 1954
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Bunga Gugur
Bunga gugur
Di atas nyawa yang gugur
Gugurlah semua yang bersamanya.
Kekasihku.
Bunga gugur
Di atas tempatmu terkubur
Gugurlah segala hal ihwal antara kita.
Baiklah kita ikhlaskan saja
Tiada janji ‘kan jumpa di sorga
Karena di sorga tiada kita ‘kan perlu asmara.
Asmara Cuma lahir dibumi
(di mana segala berujung di tanah mati)
Ia mengikuti hidup manusia
Dan kalau hidup sendiri telah gugur
Gugur pula ia bersama-sama
Ada tertinggal sedikit kenangan
Tapi semata tiada lebih dari penipuan
Atau semacam pencegah bunuh diri.
Mungkin ada pula kesedihan
Itu baginya semacam harga atau kehormatan
Yang sebentar akna pula berantakan
Kekasihku.
Gugur, ya, gugur
Semua gugur
Hidup, asmara, embun di bunga
Yang kita ambil cuma yang berguna.
Solo, 1954
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Puber Kedua
Surat Seorang Istri
Suamiku yang merantau
Malam ini bulan pucat
Pohon-pohon kelabu
Berayun, dia tas khayalan pucat.
Dan betapa pulal kelabu wajah hatiku
Kerna aku tahu, suamiku,
Hari natal yang bakal datang
Kau tidak bisa pulang.
Bertapa hambarnya rumah
Tanpa bau rokokmu
Dan bila hujan berdesar
Kurindu mendengar bisikmu
Yang bisa kudengar
Bila pipi kita beradu.
Sarung bantalmu Sudah kucuci
Dan telah pula kubelikan
Tembakau kesukaanmu.
Pun telah aku bayangkan
Kau duduk dikursimu
Menggulung rokok daun nipah
Sementara di luar
Hari bertambah tua.
Lalu datang suratmu
Yang hanya membawa rindu
Tapi bukan tubuhmu.
Aku menangis kecil, suamiku.
Tapi aku akan tabah, lakiku
Kupalingkan hati dari segala pilu
Dan akan kuturut segala perintahmu
Engkau memang rajawali, Abang!
Tabah dan mengagumkan!
Harus kulepas engkau terbang
Bila penat mari kutimang.
Lelaki itu batang pohonan
Dan perempuan adalah pupuknya.
Rumah kita tetap tenteram:
Sorga kita berdua yang sederhana.
Rumput-rumput kusiangi
Dan di lantai yang bersih
Bermain anak-anak kita.
Mereka rajin menggosok gigi
Dan selalu menyambut nama bapanya
Di dalam doa malam mereka.
Sekali Toto bertanya tentang kau.
Kubelai rambutnya dan kukatakan padanya:
“Bapa sedang terbang, tapi bakal pulang.
Ia seperti buurng besar. Burung elang!”
Dan ia lalu berkata:
“Bapa burung elang dan Toto: Dakota!”
Wah, mulutnya sangat lucu
Waktu berkata ingin jadi penerbang.
Sekali kuajak anak-anak kita
Jalan-jalan di pematang
Sitti asyik mengagumi kupu-kupu
Sedang pada putra-putra kita
Aku berkata:
“sekali waktu Bapa datang
Dan membeli sawah lebar untuk kita!”
Toto berkata:
“Tapi aku akan terbang!”
Dan Nono bersuara:
“Mama, aku bantu bapa, ya?”
Ah, mereka sangat lucu dan menyenangkan!
Mata mereka besar
Sebagai bapanya.
Di hari Natal aku akan berdoa:
“Jesus Kecil jang manis!
Berilah lekas suamiku pulang
Bila tujuannya telah berpegang.
Supaya tiap sore
Bisa kuladeni teh yang panas
Dan bila ia akan merokok
Bisa kunyalakan api baginya”
Istrimu yang setia
Siasat, 30 April 1968
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Balik Kamu Balik
Balik kamu balik.
Baliklah kamu ke daerah mewahmu
Belalilah kembali renda-renda alas mejamu
Tidurlah kembali di seprai linenmu
Balik kamu balik.
Jadilah patung di depan TV-mu
Mereka tinggal di rumah tanpa watak.
Yang perempuan kering yang laki botak.
Mereka takut pada fantasi.
Mereka takut pula telanjang.
Dengan kaku mereka duduk di kursi.
Badan dan si jiwa selalu berjurang.
Hidup mereka seperti pepatah.
Serba diatur serba diarah.
Dan tutur kata sertabuah pikiran mereka
Berbau karbol.
Mandul tanpa jiwa.
Balik kamu balik,
Seretlah pergi slogan-sloganmu
Bali kamu balik.
Aku ludahi undanganmu,
Sekretarismu cantik tapi cengeng.
Kantormu mirip kuburan belanda
Balik kamu balik.
Aku tak doyan bahasa bukumu.
Hidup bukan ilmu hitung;
Penuh rahasia, penuh hal tak terduga.
Tak mungkin disederhanakan dengan doktrin.
Ilham-ilham dalam kehidupan
Takkan bisa diatur oleh kebijaksanaan.
Yang doktriner.
Kelokan-kelokan pengalaman kehidupan
Takkan bisa ditebak oleh dalil-dalil computer
Demikianlah selalu sudah sejak dahulu.
Ada yang malas.
Ada yang rajin
Yang malas rindu pegangan
Yang rajin rindu kesempatan
Demikianlah selalu sudah sejak dahulu
Ada karang dan ada lautan
Ada yang teguh.
Ada yang mengembara.
Balik kamu balik
Aku tak suka tata riasmu
Kamu memuja cat
Dan tak mengerti tentang alam.
Balik kamu balik.
Omonganmu datar dan fana
Balik kamu balik.
Tak usah kita berpacaran
Rayuanmu penuh klise.
Ciumanmu terlalu sopan
Balik kamu balik
Hidupku repot lantaran kamu
Kamu usung adat dan tata cara.
Bahkan di ranjang dan di kamar mandi.
Balik kamu balik
Tak usah kita berjamahan.
Ketika matahari muncul dari timur.
Sayur-mayur mengembangkan daun-daunnya
Dan sambil menatap mega
Yang penuh pergantian rupa.
Di saat seperti itu
Aku mengepakkan lengan-lenganku.
Ingin terbang
Memasuki rahasia warna-warna
Telingaku mendengar
Sendok berantuk dengan garpu
Para wanita menyiapkan saran
Hidungku mengendus bau anak-anak
Menyongsong hari sekolahnya.
Kepada hidup.
Aku mengembangkan kedua tanganku.
Di antara yang rutin
Menyusuplah fantasiku
1972
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Bukannya di Madrid
“akhirnya kita bertemu lagi.
Di sini,
Di tempat ini.
Peluklah aku!”
+ Sangat berbahagia
Memeluk tubuhmu lagi.
Sangat tenteram
Mencium kembali bauu leher dan dahimu
Yang lama kurindukan.
Yuliana,
Selamat datang di Indonesia.
“aku mencarimu! Aku mencarimu!
Sangat jauh aku mengembara.
Sebermuka sakit hati
Kerna kau telah berdusta.”
+ Itu salahku.
“kau telah berjanji
Dari Amsterdam akan ke Madrid.
Dan ktia akan bertemu
Di bulan Mei tanggal 2
Di paseo del Prado di Hotel Nasional.
Dan aku akan muncul dalam pakaian jawa.”
+ Kekasihku, sangat baik hatimu.
“Hari itu di Madrid di Paseo del Prado
Di Hotel Nasional
Di bulan Mei tanggal 2
Aku datang dengan pakaian Jawa.
+ Kekasihku, sangat baik hatimu.
“Hari itu di madrid di Paseo del Prado
Di Hotel Nasional
Di bulan Mei tanggal 2
Aku datang dengan pakaian jawa,
Tapi kau tak di sana”
+ Dari Amesterdam aku tidak ke Madrid.
Pada saat terkahir di lapangan terbang
Aku mengubah Haluan
Dan naik pesawat yang menuju Calcutta
Di sana aku demam
Hatiku tak tentram
Ingat akan janjiku padamu
Tapi toh akhirnya aku terbang ke Jakarta.
Lalu ke mari, ke tempat asalku
“Gerah dan pitam.
Kau tinggalkan aku di Madrid.
Dengan penuh perhatian
Kaum lelaki memandangku
Perempuan berambut blonda
Dalam pakaian Jawa.
Aku merasa tolol
Seminggu menantimu
Dalam kain dan kebaya Jawa
Aku merasa tolol
Seminggu menantimu
Dalam kain dan kebaya Jawa
Aku merasa kauhina
Dustamu sangt pedih akibatya”
+ Yuliana
“Rusman.
Sambil menjalani seluruh Madrid
Dalam hati aku menjeritkan namamu
Rusman! Rusman!
Di kamar aku menangis dan telanjang.
Susu-susuku mengembang.”
+ Yuliana!
“ Aku mencoba tak percaya
Bahwa kau telah berdusta.
Aku pergi ke Plaza de Toros/
Tidak untuk melihat lembu
Di dalam lautan wajah
Yang memuakkan perutku.
Ketika orang-orang bersorak untuk matador
Dengna mulut berbau bawang
Aku sadar akan diriku;
Rusman telah berdusta
Di bulan tak datang ke Madrid.”
+ Ya!
“ Aku kunjungi kafe-kafe
Yang pernah kau sebutkan.
Hambar!
Lalu pada suatu hari
Aku kunjungi Restoran Te El Pilar.
Di sini aku kenal seorang lelaki Spanyol
Aku takt ahu nama lengkapnya.
Tapi seperti yang lain
Ia menoleh bila dipanggil Juan.
Ia bawa aku jalan-jalan
Sambil ia cerita tentang lembu
Aku biarkan ia menjamah dan mencumbuku.
Di Gedung bioskop ia meraba susuku
Aku bawa ia pulang ke hotel
Begitu di kamar diciumnya aku keras sekali
Dan aku membalas menciumnya.
Lalu ia membuka celananya
Dan aku hamper tidur dengan dia.
Tapi tiba-tiba aku ingat akan kau.
Aku menangis dan juga tiba-tiba aku benci bau
Keringat lelaki itu
Aku menolak
Aku mencakar mukanya
Aku mengancam akan menjerit
Bila ia tidak pergi segera.
Ia merasa terhina
Ia tuduh aku kejam dan gila,
Membangkitkan nafsunya
Untuk bkin kesal melulu
Lalu ia tampar mulutku keras sekali
Kemudian ia pergi
Sambil meludah kepadaku.”
+ Yuliana! Yuliana!
Hukumlah aku.
Aku bersalah kepadamu.
“Kamu telah bersalah kepadaku.
Tetapi bagaimana aku akan menghukummu
Selagi kau berada dalam diriku.
Dan aku tak percaya bahwa kau
Telah berdusta begitu saja
Ada sesuatu antara kita
Bukannya lain wanita
Aku tahu itu,
Dari ciumanmu masih terasa
Bahwa aku membawamu
Ke sebuah dunia yang kau kagumi
Yang membangkitkan minat
Yang selalu menantang gairahmu.”
+ Aku telah bersalah kepadamu
di Bulan Mei tanggal 2
aku tak muncul di Madrid.
Dan sejak itu
Kau berhak melupakan diriku.
“sejak di Madrid aku masih selalu
Menyebut namamu:
Rusman! Rusman!
Sejak di Madrid aku mencarimu
Kemana saja.
Aku menulis surat
Kepada teman-temanmu
Di New York. Di Verona. Di Paris.
Di Paris aku kunjungi temanmu
Si pelukis dari roma, Piedro Deurno.
Ia membuka mataku.
Pada suatu ketika,
Kamu bermalam di rumahnya.
Kamu berkata di rumahnya.
Kamu berkata kepadanya
Bahwa kau ingin lahir yang kedua
Engkau berkata:
Di Rahim ibuku
Aku disepuh sari makanan,
Lalu aku dilahirkan dengan hayat dalam diriku.
Kemudian, Piedro, aku memasuki Rahim kedua
Ialah Rahim alam dan lingkungan kehidupan,
Pengalaman dan pengetahuan
Menyepuh seluruh diriku
Seperti keris orang Jawa
Yang lama disepuh dan ditempa,
Dipersiapkan tidak untuk senjata,
Tapi dengan hikmat ia dipersiapkan
Menjadi logam yang sempurna.
Indah. Dewasa. –
Sekarang aku hidup di Rahim ke dua.
Aku hasratkan kelahiranku
Aku bergairah menyibak jalanku
Keluar dari Rahim ini,
Dan sebentar lagi
Akan datanglah kejadian
Aku lahir yang ke dua.
Maka, di saat seperti itu
Dengan penuh hak
Aku bisa berkata:
Aku Rusman!
+ Yuliana!
Aku Rusman!
“Kekasihku,
Dan kau juga berkata kepada Piedro Deurno
Bahwa di Tanah Jawa
Dalam kejadian seperti itu
Orang lalu membuat nama baru
Bagi dirinya.
Dan menyebut nama itu
Nama yang resmi. Nama dewasa.”
+ Meski tanpa nama baru
Sekarang lengkap kelahiranku
“memahami adat aku bertanya
Siapakah namamu?
+ Namaku Rusman.
“Apakah kamu menemu hidup yang baru?”
+ Hidup adalah hidup
Tapi diriku tumbuh dewasa.
Dengan resmi aku berkata.
Dengan resmi aku berkata.
Dengan sadar aku berdiri.
Sikap telah kuntentukan.
“Pergi dari Eropa?”
+ Aku pulang
Menjawab keadaanku.
Sajak-sajak yang nanti kutuliskan
Adalah jawabanku.
“Dan Eropa?”
+ Eropa bukan keadaanku.
Tapi eropa berada dalam diriku
Eropa adalah jeladri
Yang menepuh diriku dalam kandungan kedua
“Dan saya, Yuliana?”
+ Yuliana yang Yulianaku
Adalah dunia yang selalu menantangku.
Yuliana adalah cakrawala
Yuliana adalah abstraksi.
Yuliana adalah universalitas/
“Berdiri di dalam keadaanmu;
Apakah kamu menolak aku?”
+ Menolak cakrawala
Adalah menolak ilham cendikiawan.
Menolak abstraksi
Adalah menolak naluri nalar.
Menolak universalitas
Adalah menolak hakikat perngertian.
Maka, engkau Yuliana
Tidak terpisah dari hayatku.
Berdiri dalam keadaanku
Bagiku berarti
Bertolak dari kenyataan yang khas.
Dan menghayati universalitas
Adalah menangkap madah alam semesta;
Kaki berpijak di bumi
Dan jiwa membubung ke langit,
Begitu laiknya.
“tanpa aku engkau akan sengsara.”
+ Tanpa engkau hidupku pincang
“Aku masuk ke dalam darahmu.”
+ Itu terasa
“Rohku dan rohmu
Tidur bersama”
+ Itu pun gairahku pula
“Hatiku bergelora pula
Melihat kau berdiri di antara bangsamu.”
+ kebangkitan bangs aini harus segera dimulai
Kebangkitan budaya. Peremajaan budaya.
Inilah kebutuhan dasar.
Menguji kembali nilai-nilai lama yang aman.
Tapi gagal menjawab zaman.
Mengerahkan keberanian
Dan meninjau kembali khayalan bangsa.
Menghargai nalar yang merdeka
Dan menjawab tantangan cakrawala.
Untuk ini penyair juga dibutuhkan.
“Matamu bernyala-nyala.”
+ Indonesia adalah ranjang buaianku.
Indonesia adalah kuburanku
Ia aku muliakan
“kerna telah di sini dan melihat sendiri
Aku mengereti kenapa kau cintai bangsamu
Dengan jiwa yang bergelora.”
+ bukan sekadar nasionalisme
“Aku mengerti.”
+ Budaya.
“Ya
Dengarlah,
Aku ingin menarik napas Panjang
Dan memasukkan bagian bumi disini
Ke dalam rabuku, – Ah.”
+ Silakan.
“Terima kasih.
Tetapi aku tak ingin menjadi tamu.
Pakaian adat Jawa yang dulu kubawa ke Madrid
Akan kembali kukenakan.
Rambutku masih Panjang
Dan aku masih cakap
Bergelung cara jawa.
Lalu aku akan menagih janjimu.
Rusma, aku ingin jadi istrimu.”
+ janganlah terjerat oleh hatimu yang dermawan.
Sejak heboh di Madrid engkau pun kubebaskan.
“Tidakkah kau mengerti
Bahwa kau telah berada dalam diriku.
Bahwa kau itu sebuah bayangan
Dibawah sadarku.
Bahwa kau mewakili pengertian
Yang penting nilainya
Di dalam pikiranku.”
+ Bagimu aku universalitas
Kita adalah pertemuan
“Ya. – Dan aku berhak mempertahankan kamu.
Aku hanya sekadar mempertahankan
Apa yang berhak aku pertahankan.”
+ Ingatlah kita penyair.
Penyair lain dari sarjana
Dengan perkasa sarjana mengepakkan sayapnya
Membubung ke langit.
Merintis jalan pikiran kita.
Penyair dekat kepada nasib masyarakatnya.
Ialah nerakanya.
Maka bila sarjana itu dewa
Penyair adalah setan.
Ia terikat kepada nerakanya.
Ia membubung ke langit
Memberontak nerakanya.
Tetapi nerakanya selalu mengikutinya
Kita tak bisa menolak neraka kita.
Kalau mau bisa memilih takt ahu akan adanya.
Tetapi memilih takt ahu
Berarti memilih tergolek di kandungan
Yang gelap meski aman.
Dengarlah!
Aku telah ke Eropa
Dan kau ke Indonesia
Tidak untuk beronani jiwa.
“Rusman! Rusman!”
+ Mendung telah datang bergulung.
November di sini adalah bulan yang basah.
Nah, kau dengarkah
Bunyi gelisah dari jauh itu?
“Anginkah itu barangkali?”
+ Itu angin dan hujan.
Dari jauh sekali mendekat kemai.
“Astaga! Dukunglah aku.”
+ Di ranjang akan kita dengarkan
Rintiknya hujan,
Berderap di rumpun pisang,
Berderap di bubungan
Air tercurah dengan bunyi yang mengasyikkan
Ke pelimbahan.
“Hari itu Madrid
Di Bulan Mei tanggal 2
Di Paseo del Prado
Di Hotel Nasional
Kau kunantikan
Dengan pakaian adat orang Jawa.
Meski kini kita tidak saling memiliki
Kita pengantin di dalam jiwa.”
+ Begitulah kiranya.
“Dan aku akan kembali ke Eropa.”
+ bagus. Aku bangga
“Apakah kau percaya
Bahwa cinta bisa adadi?”
+ Kecuali waktu tak ada yang abadi.
Tapi kamu tak akan aku lupakan.
1977
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Puber Ketiga
Sajak Cinta Ditulis pada Usia 57
Setiap ruang yang tertutup
Akan retak,
Karena mengandung waktu
Yang selalu mengembang.
Dan akhirnya akan meledak
Bila tenaga waktu
Terus teradang.
Cinta kepadamu, Juwitaku,
Ikhlas dan sebenarnya.
Ia terjadi sendiri.
Aku takt ahu kenapa aku sekedar menyadari
Bahwa ternyata ia ada.
Cintaku kepadamu, juwitaku,
Kemudian me-ruang dan me-waktu
Dalam hidupku yang sekedar insan.
Ruang cinta aku budayakan
Tetapi waktu-nya
Lepas dari jangkauan.
Sekarang aku menyadari:
Usia cinta lebih Panjang
Dari usia percintaan.
Khazanah budaya percintaan
(pacarana, perpisahan, perkawinan)
Tak bisa merumuskan
Tenaga waktu dari cinta
Dan kini:
Syairku ini
Apakah mungkin
Merumuskan cintaku kepadamu?
Syair bermula dari kata.
Dan kata-kata dalam syair
Juga me-ruang dan me-waktu.
Lepas dari kamus
Lepas dari sejarah
Lepas dari daya korupsi manusia
Demikianlah
Maka syairku ini
Berani mewakili cintaku kepadamu
Juwitaku,
Belum pernah puas
Aku mencimum kamu.
Kamu bagaikan buku
Yang tak pernah tamat aku baca.
Kamu adalah lumut
Di dalam tempurung kepalaku
Kamu tidak sempurna.
Gampang sakit peur.
Gampang sakit kepala.
Dan tempramenmu sering tinggi.
Kamu sulit menghadapi diri sendiri.
Dan di balik keanggunan
Dan keluwesahnmu
Kamu takut kepada dunia.
Juwitaku,
Lepas dari kotak-kotak Analisa cintamu
Cintaku apda mu ternyata ada.
Kamu tidak molek
Tetapi cantik dan juwita
Jelas tidak immaculata
Tetapi menjadi mitos di dalam kalbuku.
Sampai di sini
Aku akhiri
Renungan cintaku kepadamu
Kalau dituruti
Toh tak akan ada akhirnya.
Dengan ikhlas
Aku persembahkan kepadamu.
Cintaku kepadamu telah me-waktu
Syair ini juga akan mewaktu.
Yang jelas
Usianya akan lebih Panjang
Dari usiaku
Dan usiamu.
Bojong Gede, 18 Juli 1992
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Hai, Ma!
Ma!
Bukan mau yang menggetarkan hatiku.
Tetapi hidup yang tidak hidup
Karena kehilangan daya
Dan kehilangan fitrahnya.
Ada malam-malam
Aku menjalani lorong Panjang
Tanpa tujuan ke mana-mana
Hawa dingin masuk ke abdanku yang hampa
Padahal angin tidak ada.
Bintang-bintang
Menjadi kunang-kuanng
Yang lebih menekankan
Kehadiran kegelapan.
Tidak ada pikiran
Tidak ada perasaan
Tidak ada suatu apa.
Hidup memang fana, Ma!
Tetapi keadaan tak berdaya
Membuat diriku tidak ada.
Kadang-kadang
Aku merasa terbuang ke belantara
Dijauhi ayah-bunda
Dan ditolak para tetangga.
Atau aku telantar di pasar.
Aku berbicara
Tetapi orang-orang tidak mendengar,
Mereka merobek-robek buku
Dan menertawakan cita-cita
Aku marah, Aku taku.
Aku gemetar
Namun gagal Menyusun bahasa
Hidup memang fana, Ma!
Itu gampang aku terima.
Tetapi duduk memeluk lutut
Sendirian di sabana
Membuat hidup tak ada harganya.
Kadang-kadang
Aku merasa ditarik-tarik orang
Ke sana kemari.
Mulut berbusa
Sekadar karena tertawa
Hidup cemar
Oleh basa-basi
Dan orang-orang mengisi waktu
Dengan pertengkaran edan
Yang tanpa persoalan.
Atau percintaan tanpa asmara.
Dan senggama yang tidak selesai
Hidup memang fana
Tentu saja, Ma!
Tetapi acrobat pemikiran
Dan kepalsuan yang di Kelola
Mengacaukan isi perutku
Lalu mendorong aku menjerit-jerit
Sambil takt ahu kenapa
Rasanya
Setelah mati berulang kali
Tak ada lagi yang mengagetkan
Di dalam hidup ini.
Tetapi, Ma,
Setiap kali menyadari
Adanya kamu dalam hidupku ini
Aku merasa jalannya arus darah
Di sekujur tubuhku.
Kelenjar-kelenjarku bekerja.
Sukmaku menyanyi
Dunia hadir.
Cicak di tembok berbunyi.
Tukang kebun kedengaran berbicara
Kepada putranya.
Hidup menjadi nyata.
Fitrahku kembali.
Mengingat kamu, Ma!
Adalah mengingat kewajiban sehari-hari,
Kesederhanaan bahasa prosa,
Keindahan isi puisi.
Kita selalu asyik bertukar pikiran, ya, Ma!
Masing-masing pihak punya cita-cita.
Masing-masing pihak punya kewajiban yang nyata.
Hai, Ma!
Apakah kamu ingat:
Aku peluk kamu di atas perahu
Ketika perutmu sakit
Dan aku tenangkan kamu
Dengan ciuman-ciuman di lehermu?
(Masya Allah!
Aku selalu kesengsem
Pada bau kulitmu!)
Ingatkah? Waktu itu aku berkata:
“Kiamat boleh tiba.
Hidupku penuh makna.”
Wah, aku memang tidak rugi
Ketemu kamu akan di dalam hidup ini.
Dan apa bila aku menulis sajak
Aku juga merasa
Bahwa kemarin dan esok
Adalah hari ini.
Bencana dan keberuntungan
Sama saja.
Langit di luar
Langit di badan
Bersatu dalam jiwa.
Sudah, ya, Ma!
Jakarta, 24 Juli 1992
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Barangkali Karena Bulan
Bulan menyebarkan aroma berahi
Dari tubuhnya.
Yang lalu melekat di daun-daun pohon tanjung
Yang gemetaran.
Seekor kucing jantang mengerang
Dengan suara ajaib.
Mengucapkan puisi yang tak bisa ia tuliskan.
Dan, Ma, aku meraih sukmamu
Yang jauh dari jangkauanku.
Aku tulis sajak cintaku ini
Karena tak bisa kubisikkan kepadamu.
Rindu mengarungi Senin, Selasa, Rabu,
Dan seluruh Minggu.
Menetes bagaikan air liur langit
Yang menjadi bintang-bintang.
Kristal-kristal harapan dan keinginan
Berkilat-kilat hanyut di air kali
Membentur batu-batu yang tidur.
Gairah kerja di siang hari
Di dalam hari menjadi gelora asmara.
Kerna bintang-bintang, pohon tanjung,
Angin, dan serangga malam.
Ma, tubuhmu yang lelap tidur
Terbaring di atas perahu layer
Hanyut di langit
Mengarungi angkasa raya.
Warangan, Juli 2003
Puisi WS Rendra Tentang Cinta
Di akhir hayatnya, W.S Rendra meninggal di Desa Cipayung Jaya, Depok, 6 Agustus 2009. Demikian kumpulan puisi ws rendra tentang cinta. Semoga karya beliau tetap menjadi warisan karya sastra nusantara yang selalu abadi dan tidak pernah mati.
Baca juga : Gurindam Dua Belas Karya Ali Haji