Puisi Mantra : Pengertian, Ciri-ciri dan 18 Contoh Puisi Mantra

By | 2022-12-01

puisi-mantra-adalah

Puisi Mantra – Apa yang kamu ketahui tentang puisi mantra? Mungkin banyak orang menganggap bahwa itu berkaitan dengan hal-hal yang negatif atau bahkan sebuah baca-bacaan yang sesat. Padahal sebenarnya hal tersebut  bisa dikatakan kurang tepat.

Pengertian Puisi Mantra

Puisi mantra adalah puisi tua,  yang keberadaannya dalam masyarakat khususnya suku  melayu pada zaman dahulu bukan sebagai karya sastra, melainkan lebih banyak dengan adat dan kepercayaan. Yang digunakan sebagai doa, serta memiliki unsur mistis di dalamnya.

 

Ciri-Ciri Puisi Mantra

Puisi mantra memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Memiliki rangkaian kata yang berirama
  2. Memiliki unsur magis ( suasana misteri) yang tidak dibuat-buat
  3. Kepercayaan akan pengaruh kata
  4. Daya ekspresi yang paling elementer dan asasi

 

 18 Contoh Puisi Mantra

contoh-puisi-mantra

Berikut ini adalah kumpulan puisi mantra yang bisa kami pelajari untuk mendalami tentang jenis puisi lama ini:

 

Apa Kautahu

(Sutardji Calzoum Bachri)

Gajah besar yang lumpuh

onggok dukaku onggok dukakuy

celah resah yang rusuh

lukakitaku lukakitaku

siapa dapat meneduh rusuh

dalam hatiku dalam hatimu

siapa dapat membalut luluh

yang padamu yang padaku

siapa yang dapat turunkan sauh

dalam hatiku dalam hatimu

siapa dapat membasuh lusuh

apa kautahu apa kautahu?

 

Colonnes Sans Fin

(Sutardji Calzoum Bachri)

Tiang tanpa akhir tanpa apa di atasnya

Tiang tanpa topang tanpa apa di atasku

Tiang tanpa akhir tanpa duka Lukaku

Tiang tanpa siang tanpa malam tanpa waktu

 

Tiang tanpa akhir menuju ke mana kau dan aku

Yang langit koyak yang surga tumpah karena tinggi tikammu

Luka terhenyak neraka semakin galak dalam botolmu

Tiang tanpa akhir ah betapa kecilnya kau jauh dibawah kakiku

 

Denyut

(Sutardji Calzoum Bachri)

Akan kau kau kan kah hidupmu?

Kau nanti kau akan kau mau kau mau

 

Siapa yang tikam burung yang waktu

Waktukutukku waktukutukku waktukutukku waktukutukku

 

Kapan kau sayap diam batu

Battuba battubi battubu

 

Yang langit yang gapai yang sangsai

Denyutku denyutku denyutku

 

Hemat

(Sutardji Calzoum Bachri)

dari hari ke hari

bunuh diri pelan pelan

 

dari tahun ke tahun

bertimbun luka di badan

 

maut menabungKu

segobang segobang

 

Herman

(Sutardji Calzoum Bachri)

Herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam di bulan

Tak bisa hangat di matahari tak bisa teduh di tubuh

Tak bisa biru di lazuardi takk bisa tunggu di tanah

Tak bisa sayap di angin tak bisa diam di awan

Tak bisa sampai di kata tak bisa diam di diam tak bisa paut di mulut

Tak bisia pegang di tangan takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa

Di mana herman? Kau tahu?

Tolong herman tolong tolong tolong tolongtolongtolongtolongngngngngng!

 

Jadi

(Sutardji Calzoum Bachri)

Tidak setiap derita

                        Jadi luka

Tidak setiap sepi

                        Jadi duri

Tidak setiap tanda

                        Jadi makna

Tidak setiap tanya

                        Jadi ragu

Tidak setiap jawab

                        Jadi sebab

Tidak setiap seru

                        Jadi mau

Tidak setiap tangan

                        Jadi pengan

Tidak setiap kabar

                        Jadi tahu

Tidak setiap luka

                        Jadi kaca

                                    Memandang Kau

                                                            Pada wajahku!

 

Kalian

(Sutardji Calzoum Bachri)

 

Pun

 

Kubur

(Sutardji Calzoum Bachri)

Di lapangan berlayar kubur-kubur

Kau dengar denyarnya

Membawa Pelabuhan pergi

 

Di luar kubur

 

Orang-orang tanpa Pelabuhan

Melambaikan tangan

Para pelaut

Tak memberikan lambaian kembali

 

Mantera

(Sutardji Calzoum Bachri)

 

Lima percik mawar

Tujuh sayap merpati

Sesayat langit perih

Dicabik puncak gunung

Sebelas duri sepi

Dalam dupa rupa

Tiga menyan luka

Mengasapi duka

 

Puah!

 Kau jadi Kau

Kasihku

 

 

Gerisa

(Sides Sudyarto)

 

Ya maraja jaramaya

Ya marani niramaya

Ya silapa palasiya

Ya mirado raodamiya

Ya midosa sadomiya

Ya dayuda dayudaya

Ya siyaca cayasiya

Ya sihama mahaiya

 

 

 

Nuh

(Sutardji Calzoum Bachri)

 

Di tengahnya luka paya-paya

Lintah hitam makan bulan

Taklagi matari

Jam ngucurkan

Detak nanah

 

Tak ada yang luput

Bahkan mimpi tak

Tanah tanah tanah

Beri aku puncak

Untuk mulai lagi berpijak

 

 

O

(Sutardji Calzoum Bachri)

 

Dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau

Resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian

Raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian

Mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maungapai

Siasiaku siasiakau Siasia siabalau siarisau siakalian Siasia

Waswaku waswakau waswakalian waswaswaswaswaswaswaswaswas

Duhaiku duhaiku duhairindu duhaingilu duhaikalian duhai sangsai

Oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O..

 

Perjalanan Kubur

(Sutardji Calzoum Bachri)

 

Luka ngucap dalam badan

Kau telah membawaku

Ke atas bukit, ke atas karang, ke atas gunung, ke bintang-bintang

Lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku

Untuk kuburmu Alina

 

Untuk kuburmu Alina

Aku menggali-gali dalam diri

Raja dalam darah mengaliri sungai-sungai

Mengibarkan bendera hitam

Menyeka matahari

Membujuk bulan

Teguk tangismu Alina

 

Sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur

Laut pergi kea wan membawa kubur-kubur

Awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur

Hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga

Membawa kuburmu Alina

 

 

Wa Wa

(Ibrahim Sattah)

 

‘tu bulan ‘tu bintang  waw a ‘tu pucuk malimali

                        Menjuntai awan

                                    Dengan tertegun

 

Wa wa darah siapa yang tumpah

Wa wa gapai siapa tak sampai

                        Wa wa hati siapa tak sedih

 

Sayang pada rindu resah siapa yang dalam

            Bisa pada luka keris siapa yang tikam

 

‘tu bulan tu bintang wawa ‘tu pucuk malimali

                        Menjuntai awan

                                    Dan tertegun

 

 

 

Sejak

(Sutardji Calzoum Bachri)

 

Sejak kapan sungai dipanggil sungai

Sejak kapan tanah dipanggil tanah

Sejak kapan derai dipanggil derai

Sejak kapan resah dipanggil resah

Sejak kapan kapan dipanggil kapan

Sejak kapan kapan dipanggil lalu

Sejak kapan akan dipanggil akan

Sejak kapan akan dipanggil rindu

Sejak kapan ya dipanggil tak

Sejak kapan tak dipanggil mau

Sejak kapan Tuhan dipanggil tak

Sejak kapan tak di panggil rindu?

 

 

Solitude

(Sutardji Calzoum Bachri)

 

Yang paling mawar

Yang paling duri

Yang paling sayap

Yang paling bumi

Yang paling pisau

Yang paling nancap

Yang paling dekap

 

Samping yang paling

Kau!

 

 

 

Sonet: X

(Sapardi Djoko Damono)

 

Siapa menggores di langit biru

Siapa meretas di awan lalu

Siapa mengkristal di kabut itu

Siapa mengertap di bunga layu

Siapa cerna di warna ungu

Siapa bernafas di detak waktu

Siapa berkelebat setiap kubuka pintu

Siapa mencair dibawah pandangku

Siapa terucap di celah-celah kataku

Siapa mengaduh di bayang-bayang sepiku

Siapa tiba menjemput berburu

Siapa tiba-tiba menyimak cadarku

Siapa meledak dalam diriku

: siapa aku

 

 

Tangan

(Sutardji Calzoum Bachri)

 

Seharusnya tangan bukan hanya tangan tapi tangan yang memang tangan tak Cuma tangan tapi tangan yang tangan pasti tangan tepat tangan yang dapat lambai yang sampai salam

 

Seharusnya tangan segumpal jari menulis sia sekedar duri menulis luka mengusap mata namun gerimis tak juga reda.

 

Walau lengkap tangan buntung walau hampir tangan bunting walau satu tangan buntung

Walau setengah tangan buntung yang copot tangan buntung yang lepas tangan buntung

Yang buntung tangan buntung

 

Segala buntung segala tak tangan

Hanya jam yang lengkap tangan menunjuk entah kemana

 

 

Demikian puisi mantra yang dikenal sebagai  jenis puisi paling tua yang ada di nusantara, mari kita budayakan puisi sebagai warisan karya sastra Indonesia yang akan tetap ada untuk generasi selanjutnya. Semoga ini bermanfaat bagi kalian semua

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *